“Jadi bener kalo Sivia keluar dari 7 icons?”
Gadis berambut panjang yang sengaja di curly bagian ujung rambut itu menggangguk sambil memainkan penanya di ujung bibirnya. Gadis di hadapannya tersenyum licik.
“Bagus. Tinggal lanjutin misi selanjutnya..”
***
Agni keluar dari kelasnya bertepatan dengan bel yang bunyinya dapat memekakkan telinga. Agni bersungut. Lalu kembali meneruskan langkahnya. Dibelakangnya, ada Acha yang asyik membenarkan posisi poninya yang dari tadi menurutnya gak pas. mereka memang berpencar demi misi menggungkap tabir di balik keluarnya Sivia dari 7 Icons.
Agni dan Acha berhenti didepan mobil Honda Jazz keluaran terbaru yang terparkir di parkiran sekolah. dua cowo keren lansung menghampiri mereka dan menyuruh mereka masuk ke dalam mobil tersebut.
“Jadi.. kita lansung ke rumah target?” Tanya cowo yang sengaja memakai kacamata besar yang biasa dikenakan anak-anak gaul jaman sekarang. disebelahnya duduk Acha yang masih sibuk dengan cerminnya.
“Kemana lagi emang?” Cowo yang memegang kemudi bertanya balik. membuat cowo imut tersebut manyun.
“Lo yakin dia ada dirumah?” Tanya Agni memastikan. Cakka—si pemegang kemudi—menggangguk mantap.
“Yakin lah. Dia gak mungkin kemana-mana lagi. Tempat tongkrongan dia kan Cuma markas kami.” Ucap Cakka mantap. Agni dan Acha kompak mangut-mangut.
***
Sementara di mobil Deva, keadaan jauh lebih hening dibanding mobil Cakka. baik Oik, Ray, maupun Angel tak ada yang bersuara. Hubungan mereka yang bisa dikatakan musuh dan tidak terlalu akrab membuat suasana hening itu tercipta. Apalagi hubungan Ray dan Oik yang memang tidak baik.
Deva membelokkan stir Honda City nya ke sebuah komplek perumahan yang bisa dibilang elit. Mobilnya berhenti tepat di bawah pohon mangga. 3 rumah dari rumah Sivia.
“Yakin kalo Via ada dirumah?” Deva membuka suara. Ray yang duduk disebelahnya mengangkat bahu.
“Yakin!” Jawab Angel, “Dia pasti dirumah.”
“Okelah kalo lo emang yakin. Kita tunggu aja kabar dari Cakka.” Deva membanting tubuhnya di jok mobilnya, lalu menghela nafas.
***
Cakka dkk sampai di rumah di ujung jalan bercat putih yang menjadi tempat tinggal target mereka. Mobilnya sengaja di parkirkan di lapangan yang bersebrangan dengan rumah Gabriel, dan Cakka juga sengaja sedikit berteduh di bawah pohon agar mobilnya tidak terlalu mencolok. Agni melirik rumah Gabriel yang tak jauh dari lapangan. Tak ada tanda-tanda Gabriel keluar dari sana.
“Huftt.. sampe kapan ya kita nunggu disini?” Acha bersuara di belakang. Dijawab oleh gelengan Ozy.
“Sampe Gabriel keluar lah.”
Acha menatap Ozy geram, “kamsud gue.. kapan Gabriel keluar? Kalo dia keluar, kalo engga?”
“Gak boleh putus asa. Tunggu aja bentar lagi.” Cakka menengahi. Acha mendengus, sementara Ozy mencibir.
Lagu Playboy dari handphone Agni membuat ketiganya menoleh ke Agni. agni mengambil handphonenya dari saku rok abu-abunya, lalu mengatur handphonenya supaya telepon tersebut dapat di loudspeaker.
“Iya, Ik? Gimana perkembangan di rumah Via?” Tanya Agni. oik menghela nafas.
“Belom ada tanda-tanda Via keluar. Kita bete juga nih, Ag, lama-lama. Gimana sama Gabriel?”
Cakka angkat bicara. “Pasti mereka tau kalo kita mau nguntit mereka.” Sontak, Agni, Acha dan Ozy melirik Cakka.
“Maksud lo?” Tanya Angel di sebrang sana. Sepertinya handphone Oik juga di loudspeaker.
“Gatau juga sih, tapi itu Cuma feeling gue..” Jawab Cakka santai, lalu ia memainkan tangannya di stirnya.
“Huft. Yaudah deh, kalo ada perkembangan, gue telepon lagi ya, Ik.” Agni menyudahi pembicaraan. Oik dari sana Cuma berdehem.
“Apa bener kalo mereka udah tau sama rencana kita?” tanya Ozy masih penasaran.
“Tapi gimana mereka bisa tau, coba?” Sahut Acha. Semua terdiam. Tak berapa lama, gerbang rumah Gabriel terbuka. Tampak motor Caviga Biru keluar dari garasi rumahnya, lalu meninggalkan rumahnya dengan kecepatan yang tinggi. Cakka buru-buru menstarter mobilnya. Agni menelpon Oik dengan segera.
“Halo, Ik.. Gabriel keluar dari gerbang rumah. Sivia gimana?”
Oik sepertinya juga sedang kelimpungan disana. “Sivia juga keluar. Dia bawa mobil. Kita mesti ngikutin agak jauh dari belakang dia. Kalo engga, dia bakal curiga.” Ucap Oik.
“Lo mah masih enak. Si Sivia mana kenal plat mobil Deva. Nah gue? si Gabriel kan hapal plat mobil gue.” Gerutu Cakka. agni tersenyum tipis.
“Iya, bener juga tuh kata Cakka. kalian ikutin terus ya, Sivia-nya. jangan sampai ilang jejak. Gue sama anak-anak jalan dulu. Good luck ya!”
Tut. Agni mematikan sambungan dan menyimpan handphonenya dalam saku roknya. Cakka menginjak pedal gasnya, mencoba menambah kecepatan mobilnya. Jarak Caviga Biru dan Honda Jazz Cakka tidak begitu dekat, namun, tidak begitu jauh pula. Istilahnya, standar saja lah.
“Kira-kira tujuan Gabriel kemana ya?” Tanya Agni sambil memainkan ujung blazernya.
“Ntah,”
Agni menghela nafas. Lalu menatap motor Caviga Biru yang semakin lama terasa semakin menjauh dari mobil mereka. Sejuta pertanyaan mengumpul di kepala Agni, tapi suatu pertanyaan yang membuatnya penasaran lebih mencolok. Ia menggigit bibir bagian dalamnya guna menghilangkan kerisauannya.
‘Gabriel.. sama Sivia ada hubungan apa?’
***
SMA Perdana telah sepi. Tertinggal beberapa mobil disana. Termasuk Toyota Avanza Merah maroon yang diisi oleh 4 orang murid yang sengaja tidak kembali ke rumahnya. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Di jok depan, ada Alvin dan Rio, sementara di belakang ada Zevana dan Ify. Kedua cewe yang biasanya heboh ini kali itu terdiam. Tak ada topik yang patut dibicarakan diantara mereka.
Alvin melirik Zevana dari kaca spion depan mobilnya. Tak disangka, Zevana juga tengah melirik Alvin melalui kaca spion depan. Tatapan mereka beradu, dan tak ada yang mau mengalah.
‘Gue capek ngalah sama hati gue. gue mau kita kayak dulu lagi, je..’
‘Duh.. Plis gausah kasih tatapan maut begitu.. gue takut tau.’
Rio berdehem, membuat Alvin lansung membuang tatapannya dari kaca spion dan melirik Rio yang sibuk dengan minuman kalengnya. Dilirik begitu, Rio Cuma terkekeh kecil.
“masih lama apa?” Tanya Ify yang nampaknya mulai bosan. Ia melirik jam swatch yang melingkar di pergelangan tangannya yang kurus. “Udah jam 3. Gue terpaksa batalin janji-janji gue tau. huh.”
Zevana tersenyum tipis. Ia memainkan jari-jarinya di handphone yang sedari tadi tak lepas dari tangannya. Diantara personel 7 icons lainnya, Zevana bisa dibilang si autis kalau udah ketemu hapenya. Handphone itu barang yang wajib ada sebelum dompet. Gak papa gak makan, asalkan handphone di tangan. Dan hari itu, nampaknya handphonenya tidak bisa menghilangkan rasa gugupnya harus bertemu dengan Alvin. Setelah keduanya cukup lama tidak bertemu lansung seperti ini.
“Eh, eh, Cakka nelpon!” Seru Rio yang lansung membuat 3 pasang mata di mobil itu melihat ke arahnya. ia meng-loudspeaker handphonenya.
“Halo, Rio bukan?” Suara lembut itu menyambut teleponnya. Rio mencibir, gue kerjain ah..
“Bukan.. salah sambung..”
Tampak orang di sebrang ber-loh-ria. “Kka. Ini bukan Rio. Katanya salah sambung!” Ucapnya polos. Rio menahan ketawa. Sementara Ify dan Zevana yang tau siapa yang berbicara di seberang tersenyum tipis.
“Bener kok, Ag. Eh, Io. Lo gak usah banyak bacot yee..” Cakka berujar garang diseberang. Rio ngakak, sementara Alvin menoyor sepupunya itu.
“Eh, udah buruan deh. sekarang posisi kalian dimana?” Tanya Alvin. Rio berhenti tertawa, lalu mengatur nafasnya yang agak tersengal sehabis tertawa.
“Kita lagi di lampu merah. Gabriel ada didepan kita. Lo stand by aja dulu disitu ya. sampe gue kasih aba-aba buat jalan. Oke?”
“Oke, bro!” Jawab Rio dan Alvin kompak. Setelah mematikan sambungan telepon, Rio dan Alvin kembali diam. Tak ada pembicaraan yang terjadi setelah itu.
Sebuah mobil Suzuki Escudo memasuki pekarang sekolah. membuat Alvin dan Rio yang tadinya tengah menatap hamparan langit luas menoleh ke arah mobil berplat B 5114 ICN yang berhenti 3 meter dari mobil mereka terparkir.
Zevana mendadak pucat. “It.. itu.. mobil..” Ucapan Zevana terhenti. Seorang gadis berambut panjang yang sengaja diurai dengan dress hijau rumput dan sepatu flat berwarna senada turun dari mobilnya. Ia melirik Zevana sinis, membuat Zeva semakin sulit bernafas.
“Sivia!?”
***
“Sh*t! Kita dijebak!” Teriak Deva kencang begitu mobil Honda City itu memasuki pekarangan gedung yang sudah sangat mereka hapal. Gedung SMA Perdana. Oik gigit jari, sementara Angel menggeleng tak percaya.
“Bisa-bisanya kita di jebak begini..” Ray memukul dashboard didepannya. Ia menatap gadis yang sudah keluar dari mobil Escudo tersebut. Gadis itu melirik keempat insan yang berada di dalam mobil Deva.
“Iblis!” Gerutu Angel. Deva dengan tenang memarkirkan mobilnya di sebelah Avanza Alvin. Deva sok tenang, padahal dalam hatinya sudah mencelos lebih dulu. Ray keluar dari mobil tersebut. Disusul Angel, Oik, dan yang terakhir Deva. Mereka menghampiri mobil Alvin.
“Kok bisa kesini sih tu orang?” tanya Ify pada Angel. Angel menggeleng. Ia sama shocknya dengan Ify. Tapi, ia berusaha menutupi-nutupinya.
‘Prok.. Prok.. Prok..’
Tepuk tangan itu membuat kedelapan orang itu menoleh. Sivia tersenyum miring, lalu berkacak pinggang sambil memasang wajah meremehkan. “BAGUS!” Teriaknya.
“Bagus temennya Bobby. Double B udah bubar.” Celetuk Ray yang dihadiahi pelototan dari Alvin dan Rio.
“Eh, diem lu. Gue gak ada urusan sama anggota SMASH!” Bentak Sivia sambil melirik Ray tajam. Ray berusaha stay cool saja.
“Mana leader kalian? Hah?” Tanya Sivia.
“Kenapa lo harus tau? penting buat lo?” Tanya Oik sinis. Sivia melirik Oik dengan tatapan sebal.
“Penting lah! Pasti ini rencana leader kalian untuk nyelidikin kita. Gak.. gak bisa.. hahaha.. kalian pikir gue bego?”
Glek. Mereka menelan ludah. Dibanding yang lain, memang Sivia dan Agni yang paling cerdik. Mungkin karena Agni masih shock dengan pernyataan Sivia, ia kurang licik memikirkan rencana untuk membongkar aib mantan anggota mereka itu.
“Agni mana? Cakka?” Bisik Alvin ke Ray dan Deva yang memandang Sivia dengan tatapan cool—sok cool tepatnya—
“Gatau, nomor Cakka gak bisa dihubungin..”
“Mampus!” Alvin dan Rio lansung nepok jidat. Mereka menelan ludah. Semoga kedua leader mereka itu cepat datang.
***
Cakka menghentikan mobil Jazznya ketika motor Caviga Biru itu ngerem mendadak di sebuah gedung yang benar-benar membuat mereka melongo. Cakka memukul stirnya berkali-kali, merutuki rencananya yang gagal total.
“Se.. sekolah? buat apa Gabriel ke sekolah?” Tanya Agni sambil menatap Cakka penuh rasa cemas. Cakka menggidikkan bahunya. Ia menggerakkan setirnya dengan lincah dan memarkirkan mobilnya sembarangan. Ia keluar dari mobil. Agni, Acha, dan Ozy mengekor di belakang.
“Bener kan apa kata feeling gue..” Cakka bergumam. “Dia udah tau kalau kita bakal ngepung mereka. Dan sebelum kita ngepung mereka, mereka ngepung kita terlebih dahulu..”
Agni yang berdiri di sebelah Cakka lansung menoleh ke Cakka, Cakka tersenyum miring. Membuat Agni mendesah berkali-kali.
“Kalian pikir gue gak tau rencana kalian?” Tanya Gabriel sambil melirik Cakka dan Agni seolah ingin memakan keduanya bulat-bulat.
“gue rasa, lo udah tau.” Cakka menjawabnya sambil tersenyum meremehkan.
“Kalian gak perlu tau apa alasan kita keluar dari kelompok kalian. Yang jelas, kita muak sama alasan kalian yang ‘Smash rival kita, 7 icons rival kita. Dan kita gak boleh kemakan rayuan mereka’. Cih! Gue tau semua latar belakang kalian sebelum gabung di SMASH dan 7 icons! Jadi.. gausah sok paling bener!” Ucap Sivia yang membuat beberapa personel itu terdiam. Termasuk Cakka dan Agni. mereka menunduk. Sivia mengulum senyum.
“Agni. jangan pikir gue gak tau ya hubungan lo sama salah satu personel SMASH..” Ucap Sivia sambil melirik ke Cakka. “Gue tau semua topeng lo. Suatu saat, topeng lo bakal gue buka! Camkan itu!” Sivia melempar senyum ke arah satu persatu mantan sahabatnya, lalu masuk ke dalam Suzuki Escudo nya. terdengar deru mesin mobil Sivia yang melaju menembus padatnya jalanan. Gabriel terdiam ditempat. Ia melirik Cakka.
“Bro.. gue rasa lo salah nyimpen aib lo ke gue.” Tuturnya sebelum ia meninggalkan gedung tersebut. Cakka pura-pura gak ambil pusing atas ucapan Gabriel. Tapi sejujurnya, Cakka sangat memikirkan ucapan Gabriel.
Setelah Gabriel melesat, seluruh pasang mata menatap leader mereka masing-masing dengan tatapan ingin tahu. Baik Agni maupun Cakka lansung berpencar. Agni menuju Swift Maroonnya yang terparkir lumayan jauh dari kerumunan, sementara Cakka ke honda Jazznya.
“Ada misteri apa lagi sih? aaarrghh!!” Alvin mengacak rambutnya pelan. Masalah Sivia dan Gabriel saja belum selesai. Dan sekarang? cakka dan Agni?
***
Oik membawa laju mobil Avanza hitamnya dengan pikiran kalut. Ucapan Sivia tadi terngiang jelas di pikirannya. Walaupun memang itu ditujukan untuk Agni, tapi setidaknya.. ia juga memiliki hubungan dengan anggota SMASH sebelum masuk di 7 Icons, Ray.
“Gue tau semua latar belakang kalian sebelum gabung di SMASH dan 7 icons! Jadi.. gausah sok paling bener!”
Oik memukul stir mobilnya pelan. Rasanya pikirannya benar-benar mau meledak. Bunyi handphonenya membuyarkan seluruh pikiran yang membuat otaknya full. Ia menatap LCD handphonenya. tertera nama adiknya di sana. Ia menghela nafas, lalu mencoba tersenyum.
“Ya, dek? Rumah sakit? Check up yoo? Oh, oke. Entar kakak sampe di rumah entar lagi. Kamu tunggu di depan rumah aja ya. yok, bye.”
Nafas berat terdengar dari Oik. Ia memainkan jari telunjuknya pada stir mobilnya. Ia sebenarnya penasaran dengan hubungan leadernya dengan leader rival mereka, Smash. Kenapa saat Sivia berbicara seperti itu, Agni nampak shock banget?
***
“Sial! Sial!” Cakka berkali-kali meninju pohon didepannya kesal. seolah pohon didepannya itu adalah Gabriel. Cairan kental berwarna merah pekat mengalir dari punggung tangannya, juga menempel di pohon tersebut. Cakka terduduk lemas di depan pohon tersebut. Keringat meluncur deras dari pelipisnya, wajahnya memerah. Sepertinya emosinya sulit di kendalikan. Ia membuka matanya perlahan. Bayangan gadis dan lelaki kecil berusia 10 tahun berlari di hamparan rumput luas dihadapannya bermain-main. Seolah bayangan tersebut adalah film yang baru ditonton Cakka.
“Andaikan gue gak usah ikut kelompok ini, Ag.. andaikan gue dan lo gak mikirin ego sendiri.. pasti kita masih bisa berlari-lari kayak dulu, ya kan, Ag?” Tanya Cakka lirih. Bulir-bulir hangat mulai berdesakan keluar dari pelupuk mata Cakka. mengenang masa lalu sama saja dengan membuka kotak yang menyeretnya ke duri-duri tajam. Amat sangat tajam.
Sebuah tangan menghapus air mata Cakka dengan tangannya yang lembut. Cakka memejamkan matanya. Menikmati sensasi yang dirasakannya dari tangan lembut tersebut. Tangan itu mulai meraba pelipis Cakka. cakka dapat merasakan sebuah kain yang menyentuh pelipisnya lembut. Cakka membuka matanya perlahan, dan ia melihat gadis manis yang selalu ada dalam kotak kenangannya.
“Agni...”
Gadis yang dipanggil Agni hanya terdiam sambil menyunggingkan senyum kecilnya. Ia beralih membersihkan darah di tangan Cakka. Cakka mengelus rambut panjang yang terurai di hadapannya itu. Setitik kristal meluncur di pipi gadis tersebut. Semakin lama, semakin banyak. Bahkan, mengenai punggung tangan Cakka.
“Agni...”
“Apa?”
Cakka memeluk Agni. tak memperdulikan Agni yang memberontak dan menangis terisak di pundaknya. Cakka mengelus punggung Agni, membuat Agni sedikit bernafas lega.
“Gue takut... gue takut sama ancaman Sivia..” Ucap Agni bergetar. Cakka menggangguk.
“Gue juga. Amat sangat takut..”
“Hiks... apa sih yang mereka berdua rencanain? Mau ngancurin kita?” tanya Agni parau. Cakka melepas pelukannya pada tubuh Agni, lalu memegang pipi Agni dengan kedua tangannya. Menyuruh Agni menatap mata Cakka yang tajam dan menghanyutkan itu.
Deg. Deg. Deg.
“Gue juga gak tau. tapi.. lo jangan nangis lagi ya. gue gak suka liat lo nangis kayak gini. Gue janji.. Akan ngebongkar seluruhnya. Rencana apa yang mereka sembunyiin dari kita. Jangan nangis lagi ya, gue suka Agni yang dingin dan angkuh. Ehm, maksudnya sok angkuh..” Agni tertawa kecil, lalu menggenggam kedua tangan Cakka yang tadinya memegang pipi chubbynya.
“Makasih ya...”
“Untuk?” Tanya Cakka sambil menyunggingkan senyum kecilnya.
“Semuanya. Gue gak bisa sebutin satu-satu kebaikan lo sama gue.” Jawab Agni lirih.
“Noprob.” Cakka mengelus pipi Agni. “Lo yang tabah ya. gue yakin, 7 Icons bakal cepet dapet pengganti Sivia.”
Agni menggangguk, “Smash juga, dapet pengganti Gabriel yang lebih baik.”
Keduanya tersenyum. lalu berpelukan kembali. Rasa-rasa kenangan masa lalu berputar kembali di antara mereka. Akankah taman bunga di dalam hati mereka akan kembali subur setelah lebih 4 tahun seluruh bunganya layu? Entahlah.. hanya keduanya yang tau. ya, hanya Cakka dan Agni yang tahu.
***
Oik menggandeng adiknya di koridor rumah sakit untuk check up. Seperti biasa, hari Rabu adalah jadwal check up adiknya. Specialis jantung hari itu sepi, dan seperti minggu-minggu lalu, Oik dan Vania—adiknya—lansung masuk tanpa perlu menunggu lagi.
“Selamat siang, Dok..” Sapa Vania riang. Dokter Nekha (kak Nekha, pinjem nama dong ya:p) mendongak dan tersenyum kecil. Dokter berusia kurang lebih 20 tahun itu memang dokter yang dipercaya keluarga besar Oik untuk menangani Vania.
“Selamat siang, Vania, Oik.. wah, kayaknya ceria banget nih..” Goda Dokter Nekha, membuat semu merah di pipi gadis itu.
“Hehe, tau aja nih, dok.”
Oik Cuma tersenyum sambil mengelus pundak adiknya. Dokter Nekha menyuruhnya duduk di kursi yang ada di hadapannya, lalu menatap Vania yang tengah duduk santai di sebelah Oik.
“Ada keluhan setelah pergantian ring di jantungmu?” tanya Dokter Nekha. Vania menggeleng, lalu tersenyum kecil.
“engga, dok. Malahan, sekarang aku kayak lebih sehat gitu. Lebih dari yang kemarin..” Ucap Vania sambil tersenyum kecil. Jemarinya ia pakai untuk memainkan sweater pink mudanya.
“Lalu? Dokter dengar dari mama kamu, kamu pengen sekolah lagi?” tanya Dokter Nekha. Vania melirik Oik, lalu menggangguk pelan.
“Emang kamu yakin bisa jaga diri kamu, dek?” tanya Oik sambil menatap Vania engga yakin.
“Yakin dong, kak. Lagian.. aku bete di rumah mulu. Apalagi kak Oik jarang dirumah,”
Dokter Nekha nampak menimang-nimang jawaban, tangannya sibuk menuliskan sesuatu di kertas resep. Ia menandatangani kertas resep tersebut, lalu menyodorkannya pada Oik.
“Vitamin. Diminum 3 kali sehari. Sebelum berangkat sekolah, pulang sekolah, dan sebelum tidur. Harus teratur ya minumnya. Dan yang ini obat cadangan untuk obatnya yang habis kemarin. Ini untuk mengatur kerja jantungnya, dan yang ini, puyer untuk membantu pil pembantu pengatur kerja jantung..” Jelas Dokter Nekha. Vania lansung tersenyum sumringah.
“Jadi.. aku boleh sekolah, dok?” tanya Vania, dokter nekha menggangguk kecil. Membuat Vania memeluk Oik dan menyalim Dokter Nekha.
“Makasih. Dokter.. makasih..” Ucapnya.
“Kalau begitu, kami permisi dokter.. sampai bertemu Rabu depan..” Oik menggandeng lengan Vania, lalu mengacak rambut adiknya itu pelan.
“selamat ya yang boleh masuk sekolah lagi..”
“Kak Oik.. Aaaaaa..”
Oik mengajak adiknya itu untuk menebus obat di Apoteker. Setelah memberikan resep tersebut, Oik dan Vania duduk di ruang tunggu penebus obat.
“Van, kakak tiba-tiba kebelet. Kamu disini sendiri gak papa?” tanya Oik. Vania menggangguk, membuat Oik tersenyum kecil.
“sebentar ya sayang..”
Oik berjalan meninggalkan Vania yang masih terduduk disana sambil memainkan handphonenya. dari beberapa minggu yang lalu, Vania merengek minta dibeliin handphone, dan keinginannya baru terwujud setelah selesai operasi.
Suara heels Oik bertemu dengan lantai memecahkan keheningan lobby rumah sakit sore itu. Tatapan Oik tak sengaja tertuju pada seorang gadis yang keluar dari sebuah specialis. Oik melirik papan spesialis yang tergantung di depan pintu. Matanya membulat lebar. Gadis yang tengah tersenyum dengan kekasihnya berhenti melangkah. Ia menatap Oik yang shock melihat keduanya.
“Ik.. gu.. gue..”
^To Be Continued^
Comments
Post a Comment