Halo blogger! *ciumtemboksatusatu*
Apa kabar? Baik? Engga? Telor-telor ulat-ulat kepompong kupu-kupu, kasian delo... (?)
Ini cerpen yang udah lama banget ada di facebook aku :3 Cerpen yang katanya—baru katanya, looh!—bikin nangis. So, yang lagi galau ngga jelas atau lagi uring-uringan karena gebetannya ngga nongol-nongol di sabtu malam ini—ehm, malam minggu ini—mending baca aja :D *promosi* OKEEE!!!?
Satu Jam Saja.
Jam pasir itu sedikit demi sedikit pasirnya mulai menipis. Pertanda, sebentar lagi waktunya akan tiba. Aku akan meninggalkan semuanya. Semuanya. Termasuk.. dia.
^^
Blam!!
Kertas-kertas yang berada di meja belajar yang tak jauh dari pintu itu bertebaran di penjuru kamar. Lelaki berumur 16 tahun itu menelungkupkan wajahnya di bantal. Tak memperdulikan panggilan kekasihnya yang berteriak akan memberikan penjelasan atas perbuatannya tadi. Ia terlalu lelah dijejali penjelasan palsu.
“Kka! Buka pintunya, gue bisa jelasin!” Teriak gadis itu sambil menggedor pintu kaar lelaki itu.
“Kka! Cakka!! Arrgghh!!” Erang gadis itu. Setelah erangan itu, tak terdengar lagi suara teriakan. Yang terdengar langkah kasar yang bergegas meninggalkan pintu kamar itu. Lelaki itu menghela nafas lega.
^^
Lelaki itu asyik memantulkan bola basket ke kerasnya semen lapangan basket. Sesekali a mengeshootnya ke ring dan hasilnya sama saja seperti tadi, bolanya selalu melesat. Ia sendiri tak tahu kenapa konsentrasinya buyar seperti ini.
“Main model apaan tuh,” kritik seseorang dibelakangnya. Lelaki itu menoleh ke belakang, lalu kembali mendrible bolanya. Mengeshootnya dan.. tetap saja tidak melewati ring. Gadis berkuncit kuda itu mengambil alih bola dari tangan lelaki itu. Ia mendrible bola berwarna oranye tersebut, memincingkan matanya dan..
‘hup’
Bola tersebut menembus ring dengan mulus. Lelaki itu menatap gadis itu kagum, sementara si gadis tersenyum puas.
“Makanya, main basket tuh jangan cuma dijadiin pelampiasan emosi,” ucap gadis itu. Ia duduk di bawah pohon akasia. Nafasnya naik turun.
“Siapa yang ngelampiasin emosi? Kurang konsentrasi, tau!” Tepis lelaki itu. Ia duduk di samping gadis itu. Lalu menatap wajah gadis yang tengah menatap lurus ke lapangan.
“Gue tau kok cara main lo, lo lagi marah, kesel, bahagia, seneng, gue bisa baca semua.” Ucap gadis itu.
“Cakka, lo?” Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya. Gadis itu menepisnya, lalu tersenyum miring.
“Udah tau, gue Agni,”
Cakka terjaga dari tidurnya. Ia menatap jam yang ada di sebelah lampu tidurnya. Pukul 1 malam. Cakka menguap lebar-lebar. Ia bermimpi tentang pertemuan awalnya dengan Agni, sahabatnya. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Buru-buru diambilnya smartphone-nya dari saku celana, lalu mengetik sebuah nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala.
Tut.. Tut.. Tut.. Tut..
“Hmm, ngapa Kka?” Tanya gadis diseberang sana. Cakka tersenyum sumringah lalu menghela nafas.
“Ke lapangan basket yok!” Ajak Cakka, terdengar gadis itu beranjak dari tempat tidurnya.
“Gila lo, nyet! Jam 1 malem nih, engga ah. Lo aja maen sama kunti!” Jawabnya dengan suara parau. Cakka cekikikan sendiri.
“Lo kan biasa ngalong. Lagian ortu lo kan lagi di Singapur juga. Ayolah, Ag. Gue jemput ya, yaudah gue otw dulu,” Cakka tak mengubris lagi kata tidak setuju yang akan disemprotnya ke Cakka. Ia tersenyum kecil lalu mengambil kunci motornya di atas meja belajar.
^^
Agni dan Cakka duduk di bawah pohon akasia. Angin malam menusuk ke kulit, membuat Agni merapatkan jaket hitam yang dipakainya. Mereka berdua dilanda keheningan. Hanya terdengar desauan angin atau bunyi jangkrik.
“Ada masalah lagi ya sama Oik?” Tanya Agni tanpa memandang ke Cakka. Cakka hanya mengganguk lalu memajukan bibirnya.
“Gue capek kalo terus diduain,” Keluh Cakka. Ada senyum miris yang tercipta di bibir mungil Agni, “Tapi gue masih sayang banget, Ag, sama Oik. Gimana dong?”
“Oik sayang gak sama lo?” Tanya Agni, Cakka menggidikkan bahunya, lalu berdiri dari tempatnya duduk. Ia mengambil bola yang diletakkan Agni di tengah lapangan.
‘Duk! Duk! Duk!’
“Itu yang jadi masalahnya, Ag, gue merasa Oik mulai gak sayang lagi sama gue,”
Agni tak beranjak dari duduknya, ia memandang lurus ke depan. “Kalo gitu, lo harus nguji sayangnya Oik.”
“Nguji sayangnya Oik?” Tanya Cakka heran, Agni menggangguk polos.
“Yaaa, misalnya lo jangan mutusin dia dulu, terus lo pura-pura pacaran sama siapa gitu. Shilla kek, Sivia kek, terus liat apa reaksi Oik.” Saran Agni sambil memamerkan gigi putihnya. Cakka terdiam ditempat, lalu senyum cerahnya terpajang di wajahnya.
“Okedah! Ide lo keren banget! Emang gasalah gue punya sahabat kaya lo, Ag! Eh, eh, tapi.. yang jadi pacar boongan gue jangan kawan-kawan lo deh. Lo aja gimana?”
Agni menatap Cakka dengan tatapan ‘kenapa-harus-gue-sih-?’. Sementara Cakka cuma nyengir gaje.
“Gapapa dong, Ag. Ya ya ya? Plis! Plis!!!” Cakka menyatukan kedua tangannya, lalu memandang Agni penuh harap. Agni memutar otaknya, lalu menatap Cakka penuh penyesalan.
“Tiap hari es krim.” Ucap Agni datar. Cakka menggangguk mantap lalu jejingkrakan gak karuan.
“Yeay! Oke, Ag, gampang bisa diatur.” Ucap Cakka. Ia memeluk tubuh mungil Agni dengan semangat 45.
“Iya, iya, iya, udah dong mati kecekek baru tau nih gue,” Cakka nyengir, lalu mengacak rambut Agni pelan.
“Makasih ya,” Lirih Cakka, Agni menggangguk lalu tersenyum kecil.
“Noprob, Kka.”
“Pulang?”
Agni menggangguk.
^^
Kekasihmu tak mencintai, dirimu sepenuh hati.
Dia selalu pergi meninggalkan kau sendiri.
Mengapa kau mempertahankan.
Cinta pedih menyakitkan.
Kau masih saja membutuhkan dia, membutuhkan dia.
“Agni!! Kita cariin dimana, ternyata disini!” Tepukan di pundak Agni membuat Agni berhenti memainkan tangannya di gitar cokelat milik sekolah.
“Ini kan emang markas Agni kalau istirahat. Gak kekantin gapapa, asalkan bisa main gitar,” ucap Shilla sambil menaikkan alisnya. Agni tersenyum tipis.
“Eh ya, Ag. Denger-denger gossip, lo jadian sama Cakka ya?” Tanya Sivia, ia duduk di depan grand piano berwarna hitam yang terletak di atas panggung kecil setinggi 25 cm. Agni memainkan jarinya disenar gitarnya, lalu tersenyum.
“Kan cuma gossip.”
Shilla ikut-ikutan duduk di depan drum, “Sahabat jadi cinta nih, peje peje.”
“Apaan sih? Engga kok. Gue tuh pacar pura-puraan Cakka. Gue bantuin dia buat Oik jealous. Itu doang kok.” Jawab Agni. Kali ini Agni memainkan intro lagu Satu Jam Saja miik Lala Karmela.
“Emang kenapa lagi sih sama Oik? Hobby banget sama Cakka putus-nyambung.” Komen Shilla. Agni tersenyum miris.
Jangan berakhir, aku tak ingin berakhir.
Satu jam saja, kuingin diam berdua.
Mengenang yang pernah ada.
Suara lembut Agni membuat kedua sahabatnya ini terdiam. Ia memandang Agni yang sibuk dengan gitarnya.
“Ag, gimana perkembangan terakhir?” Tanya Sivia. Agni berhenti memetik gitarnya, lalu tersenyum kecil.
“Gak ada harapan, Vi. Kecil kemungkinan, katanya.” Jawab Agni, Shilla dan Sivia menatap Agni.
“Dan lo udah kasih tau dia?” Tanya Shilla, Agni menggeleng, “Kenapa?”
“Gue gak mau dia benci gue. Dan ngejauhin gue. Udah gausah dibahas. Ke kelas yuk, udah mau masuk.” Ajak Agni. Shilla dan Sivia beranjak dari tempatnya duduk, lalu mengekor Agni yang sudah terlebih dahulu keluar dari ruang musik.
^^
From: Cakka^^
Jalan, yuk?
—
To: Cakka^^
Gak bisa, sorry.
—
From: Cakka^^
Yah. Oke, next time, ya.
—
Agni menyimpan handphonenya di saku celana. Lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidurnya. Ia memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan.
--
“Menurut diagnosa terakhir, penyakitnya telah merambah ke ginjal yang sebelah kanan. Membuat harapan untuk sembuh semakin kecil.”
“Tapi masih bisa selamat kan, dok?”
“Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan putri ibu,”
--
Kata-kata itu terngiang di kepala Agni. Perlahan, butiran-butiran itu menyeruak keluar dari matanya. Pertahanannya jebol. Tak ada lagi harapan. Tak ada lagi harapan. Yang ada hanya pengharapan akan keajaiban. Agni menghapus air matanya kasar begitu mendengar suara deru motor di bawah. Agni mengintip melalui jendela kamarnya. Dilihatnya Cakka tengah membawa laju motornya ke arah lapangan basket yang tak jauh dari rumahnya. Agni tersenyum kecil.
Itulah keajaibanku untuk bertahan hidup. Hanya dialah yang bisa membuat hidupku lebih berarti sebelum aku merasakan kehidupan di dunia lain. Ya, dia, Cakka.
^^
Hujan. Lima huruf yang berbeda itu bisa membuat orang mengeluh kecewa. Terutama Shilla dan Sivia yang sepertinya ada janji dengan pangeran-pangerannya.
“Masa hujan sih? Gimana gue jalan sama Gabriel?” Keluh Shilla kesal. Sivia pun ikut-ikut mengeluh.
“Bisa batal gue jalan-jalan sama Apin nih. Aaah, hujan! Bete deh.”
Sementara kedua sahabatnya itu mengeluh, Agni lebih memilih diam dan memandang lurus kedepan. Memikirkan kata-kata Dokter tentang nasib umurnya dan keajaiban yang hampir tak akan ada.
“Ag, lo kok gak ngeluh sih? Emang lo ga jalan apa sama Cakka?” Tanya Shilla sambil menunjuk lelaki yang duduk dua baris dari mereka dengan dagu. Agni menggeleng kecil, lalu menatap jendela kelasnya yang basah karena hujan.
“Ah, gak asyik ya cara pacaran lo sama Cakka. Kayak gak ada perubahan status gitu. Masih aja kayak sahabatan,” Komen Sivia yang diilhami anggukan Shilla.
“Emang pacaran wajib pergi sama pasangan gitu? Basi menurut gue, lagian ini cuma sandiwara. Gue juga males keluar rumah.” Jawab Agni datar. Shilla dan Sivia berpandangan, lalu menaikkan bahunya.
‘Teng! Teng! Teng!’
Bunyi bel yang menurut anak-anak panggilan ‘dari surga’ itu membuat seluruh isi kelas XI IPA-2 berbondong-bondong meninggalkan kelas. Namun tidak untuk Agni, ia masih duduk di tempatnya. Dengan tatapan kosong ke depan.
“Agni,” sapa seseorang. Agni mendongak lalu melihat ‘keajaiban’ nya berdiri sambil menatapnya heran.
“Lo sakit? Kok pucet gitu? Mau gue anter pulang?” Tanya Cakka, si keajaiban Agni. Agni menghela nafas, lalu menggangguk. Cakka tersenyum, lalu menggandeng tangan Agni keluar kelas. Agni mendongak. Menahan agar air matanya tak terjatuh dari pelupuk matanya.
—
Mereka berdua berhenti tepat di depan sekolah. Cakka mengadahkan tangannya ke luar. Ia mengeluh seperti yang dilakukan kedua sahabat Agni, memarahi kedatangan hujan.
“Kenapa jadi pada marahin hujan sih?” Tanya Agni heran, Cakka menatap Agni, lalu mendengus lagi.
“Hujan selalu aja ganggu gue. Males tau kalo udah hujan.” Jawab Cakka, Agni menggeleng lemah.
“Hujan itu anugerah, karunia tuhan. Patut disyukuri. Lo harusnya bersyukur, karena masih bisa menikmati karunia-Nya,” Ucap Agni.
‘Lo harusnya bersyukur karena masih di kasih kesempatan untuk bernafas lebih lama dibanding gue,’ Batin Agni. Cakka tersenyum.
“Bener kata lo, Ag! Okedeh, gue bakal berusaha mensyukuri nikmat Tuhan,” Ucap Cakka semangat.
‘Tuhan, izinkan aku membahagiakannya. Sekali saja. Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya,’ Batin Agni perih.
^^
Sivia memandang semangat ke kertas yang dipegang Shilla. Ia sudah bercuap-cuap mengenai lagu yang harus dibawakan Agni nanti. Sementara Agni hanya tersenyum atau menggangguk kecil mendengar judul-judul lagu yang disarankan oleh Sivia. Pikirannya justru memusat pada satu kenyataan: Apakah ia masih diberi umur sampai 2 bulan lagi?
Melihat Agni yang menggubrisnya dengan datar, Sivia terdiam. Shilla pun ikut berhenti tertawa. Mereka menatap Agni khawatir.
“Ag, lo kenapa?” Tanya Shilla. Agni menggeleng.
“Apa Tuhan masih mau berbaik hati, Shill, Vi? Apa Tuhan masih mau memberikan sedikit kemurahan-Nya untuk gue?” Tanya Agni, Shilla dan Sivia berpandangan.
“Maksud lo, Ag?”
Agni tersenyum getir, “Apa Tuhan masih ngizinin gue untuk tetap bernafas di hari Pentas Seni nanti?”
Shilla dan Sivia terdiam. Kata-kata Agni tadi sangat amat menusuk. Pertanyaan itu, pertanyaan paling putus asa yang pernah mereka dengar dari mulut Agni. Perlahan, mata mereka mulai berair. Mereka kompak memeluk Agni yang masih diam tak bergeming. Senyumnya hanya mengembang begitu Shilla dan Sivia memeluknya.
“Tuhan akan selalu memberi keajaiban untuk umat-Nya yang tak pernah putus asa seperti lo, Ag.” Ucap Sivia, Shilla menggangguk.
“Keajaiban itu pasti ada, Ag,”
Agni menggangguk pelan. Keajaiban itu memang ada. Keajaiban itu sebentar lagi pergi dan membiarkan Agni menunggu waktu yang tepat itu sendirian.
^^
Cakka hendak mengeluarkan motornya dari garasi sebelum telefon rumahnya berdering. Cakka mengangkat gagang telefon rumahnya, lalu berusaha sehalus mungkin.
“Halo, dengan kediaman Nuraga disini. Oh, iya bun, ada apa? Oh. Apa? Tu,, tunangan bun? Sama Oik? Serius, bun?!! Kapan? Oh. Iya deh, bye bunda. Smlekum,”
Cakka meletakkan lagi gagang telefon di tempatnya. Ia melompat-lompat girang. Ia harus memberi tahu ini pada Agni. Ya, harus. Cakka berlari kecil ke garasi lalu menstarter motornya.
^^
Jangan berakhir.
Aku tak ingin berakhir.
Satu jam saja.
Kuingin diam berdua, mengenang yang pernah ada.
‘Drrrtt.. Drrrtt..’
Agni menghentikan aktivitasnya bermain gitar. Lalu mengambil handphonenya yang ia letakkan di atas meja belajar.
1 new messages.
Agni membuka pesan tersebut.
From: Cakka^^
Gue dibawah, kebawah cpt.
—
To: Cakka^^
Engga ah, mau ngapain?
Ini mau hujan. Mendung.
—
From: Cakka^^
Ada yg mau gue omongin.
Gpp dong.
—
Agni mengalah. Ia mengantongi handphonenya, lalu berlari kecil ke bawah.
“Mau ngomong apa sih?” Tanya Agni to the point, Cakka menepuk-nepuk jok motor belakangnya.
“Naik, deh. Kita ke labas sekarang.” Ajak Cakka, tanpa babibu, Agni naik ke atas motornya, lalu melingkarkan tangannya pada pinggang Cakka.
^^
“Tunangan? Kok,, kok,, kok,, bisa?” Tanya Agni, Cakka tersenyum kecil. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut Agni yang tak dikuncir.
“Sebenernya udah lama. Gue waktu itu setuju, terus Oik bilang dia masih mau mikir-mikir. Dan kemaren, dia nerima tawaran itu. Happy banget gue Ag, huwa huwa..” Cakka melompat-lompat kecil di tempatnya duduk. Agni tersenyum. Berusaha menyembunyikan air matanya,
“Baru 1 minggu kita pura pura jadian aja, udah cemburu ya, dia. Artinya.. Dia sayang banget sama lo,” Ucap Agni bergetar. Cakka yang mendengar suara Agni yang bergetar perlahan menatap Agni. Tapi Agni menampakkan wajah santainya. Membuat Cakka kembali menatap lurus ke depan.
“Akhirnya, ya, Ag. Gue lega banget.”
“Artinya hari ini kita gak sandiwara lagi, kan?” Tanya Agni. Cakka menggangguk santai.
“Yup! Tapi kita tetep sahabat selamanya kan?” Cakka menyodorkan kelingkingnya pada Agni. Agni berusaha menahan air matanya, ia tersenyum lalu mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Cakka.
“Kapan acara pertunangan lo?” Tanya Agni, Cakka memutar-mutar matanya.
“Kata bunda tadi sih, 22 Juni nanti.”
“Pas pensi, ya?” Ada rasa kecewa di hati Agni. Itu berarti, Cakka tak akan melihat ‘penampilan terakhir’ nya nanti?
“Iya. Kayaknya terpaksa gue gak ikut pensi nih. Lo pasti datang kan, Ag?”
Kata-kata ‘pasti’ itu membuat dada Agni sesak. Pasti? Pasti Kka? Lo gak tau gimana perihnya hati gue denger gossip ini? Dan lo bilang gue pasti dateng? Agni hanya memamerkan seulas senyum kecil pada Cakka. Cakka menghela nafas lega.
“Syukurlah, makasih ya, Ag,” Cakka memeluk Agni. Agni membalas dekapan hangat itu. Mungkin dekapan terakhir. Mungkin setelah ini, tak akan ada lagi dekapan ini. Mungkin. Hanya mungkin.
Agni dan Cakka melepas pelukan mereka. Lalu duduk tanpa bersuara. Menikmati titik-titik hujan yang satu persatu mulai membasahi mereka.
^^
Dan mulai hari itu, hubungan Agni dan Cakka agak merenggang. Bahkan menjauh. Setelah Oik dan Cakka berbaikan, tak ada sedikitpun celah untuk Agni. Cakka pun sepertinya tidak masalah tanpa kehadiran Agni. Mungkin menurut Cakka, Agni hanyalah seorang ‘teman’ yang bermetamorfosis menjadi seorang ‘sahabat sejati’. Agni sendiri sudah merasa puas. Dan akhirnya, Agni pun menyibukkan dirinya dengan belajar menghadapi ujian kenaikan kelas dan berlatih untuk Pentas Seni nanti. Sedikit melupakan masalahnya, dan penyakitnya.
^^
“Agni, hari ini kita ke rumah sakit ya, kita liat barangkali ada yang berbaik hati mendonorkan ginjalnya ke kamu.”
Agni yang tengah sibuk dengan buku IPA nya menggeleng dan membenarkan letak kacamata tipis yang selalu dipakainya ketika membaca, belajar, atau berhadapan dengan komputer.
“Buat apa?” Tanya Agni.
“Buat kesembuhan kamu, sayang.”
“Gaperlu, mah. Agni udah siap kok. Agni gak mau ngabisin waktu terakhir Agni untuk berhadapan dengan alat-alat kimia. Agni mau ngabisinnya dengan hal-hal yang menurut Agni bermanfaat.” Jawab Agni. Mamanya menunduk. Ia tak kuasa membendung air matanya.
“Agni, mama sayang kamu sayang. Sekarang kita kerumah sakit ya, sayang.” Pinta mamanya, Agni berjalan menuju mamanya yang terduduk lesu di samping tempat tidurnya.
“Mama.. Agni gak mau. Agni mau ngabisin sisa hidup Agni untuk membahagiakan orang-orang yang Agni sayang. Walaupun Tuhan cuma ngasih Agni waktu Satu Jam.”
Mama Agni merengkuh tubuh Agni. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Agni. Agni hanya meneteskan air matanya. Ia terlalu lelah menangis. Toh, memangnya dengan menangis akan menyembuhkan ginjalnya?
^^
Cakka memandang frame foto berwarna hijau yang ada di meja belajarnya. Foto seorang gadis dan seorang lelaki yang tengah tersenyum ceria disana. Tak ada tanda-tanda kesedihan di foto itu. Rasa rindu perlahan menyeruak di dalam hatinya. Ia sangat merindukan sosok di poto itu. Amat sangat rindu. Gadis yang dahulu pernah membuatnya jatuh cinta setengah mati. Sampai sang gadis bilang, bahwa ia tengah mengagumi seseorang. Ia mencoba melupakan cintanya untuk sang gadis, sampai-sampai, ia menerima cinta gadis tercantik disekolah, Oik. Ya, gadis di dalam foto itu Agni. Bersama dirinya.
Dua minggu lagi pertunangan antara Cakka dan Oik dilansungkan. Tapi entah kenapa, Cakka tak merasa senang dengan segala sesuatu yang sudah siap itu. Ia merasa sebagian relung jiwanya kosong.
Cakka mengambil smartphone nya di saku celananya. Ia mengetikkan beberapa nomor, lalu menunggu sambungan telepon.
“Halo, Kka?” Suara itu membuat seluruh isi hati Cakka bergemuruh. Cakka ingin memeluk gadis itu lagi. Sekali lagi. Tapi tak mungkin. Oik pasti akan memakannya hidup-hidup.
“Apa kabar?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Cakka. Sudah hampir 1 setengah bulan mereka tidak berkomunikasi atau sekedar say hello di sekolah. Cakka terlalu sibuk dengan Oik.
“Aku baik, kamu?” Tanya Agni. Hey, sejak kapan Agni mengganti kata sapaannya menjadi ‘aku-kamu’ seperti ini? Apa sudah terlalu lama kami tidak kontakan?
“Baik. Mungkin baik,”
Cakka mendengar suara tawa kecil Agni, “Oh ya, Kka. Kayaknya, tanggal 22 aku gak bisa deh ke pesta pertunanganmu,”
“Yah, kok gitu?” Tanya Cakka. Ada rasa kecewa Cakka rasakan.
“Sorry. Aku tampil di pensi. Penampilan terakhir.”
“Oh. Yaudah. Kalau sempet, aku pasti kesana, ya.”
“Iya, yaudah ya, Kka. Aku mau latihan dulu. Bye.”
Sambungan telepon di matikan. Cakka meletakkan smartphone nya di atas meja belajar. Lalu menjambak rambutnya erat-erat. Kenapa ia merasa kehilangan Agni? Kenapa?
^^
“Kamu yakin mau tampil, Ag?” Tanya Mama Agni ketika Agni tengah sibuk membenarkan posisi dress nya.
“Yakin, ma. Mama doain yang terbaik buat Agni ya, ma. Nanti mama dateng ya, jam 8 malem Agni tampil. Ma..” Agni menatap mamanya yang berlinang air mata, “Maafin Agni ya, mah. Selama ini, Agni selalu buat mama kecewa. Agni gak pernah jadi anak yang baik, selalu buat mama nangis. Selalu buat mama marah. Tapi, Agni sangat menyayangi mama. Agni gak tega ninggalin mama. Agni.. Agni sayang mama, Agni sayang papa.”
“Agni, kamu ngomong apasih? Mama gak mau denger kamu ngomong begini, ngerti?” Bentak mamanya pada Agni. Agni tersenyum.
“Ngomong tentang fakta. Tentang kenyataan hidup. Tentang waktu yang sebentar lagi habis. Waktu Agni gak banyak, Agni pergi dulu ya, Ma. Jaga diri mama baik-baik,” Agni menghadiahi satu kecupan di pipi mamanya. Membuat dada seorang ibu sesak. Apalagi Agni sama sekali tak memiliki tampang bersedih. Ia tersenyum tenang.
“Pah!” Panggil Agni pada papanya yang tengah membaca koran.
“Eh, udah cantik anak papa. Kenapa sayang?” Tanya Papanya. Agni tersenyum. Ia memeluk tubuh ayahnya, lalu berbisik.
“Papa, jagain mama ya. Jangan biarin mama nangisin Agni terus. Agni sayang papa. Agni pergi dulu ya, pa.” Agni menghadiahi papanya sebuah kecupan di pipi kanan. Sementara papanya hanya tersenyum.
“Rayyyy!!!” Teriak Agni begitu melihat kembarannya itu tengah memanasi mobil. Ray berdecak, lalu menatap Agni dari atas ke bawah.
“Oh, mak lampir udah cantik toh,”
Agni mencibir, “Buruan deh, Ray. Lo kan ngisi acara juga.”
“Iya, iya. Bawel idup lo.” Agni duduk di jok penumpang. Ray menyalakan mesin mobil, lalu mulai melesat di padatnya jalanan.
“Eh, Ray.” Panggil Agni,
“Hmm?”
“Gue minta maaf ya selama ini kalo gue punya salah sama lo. Gue jahat sama lo. Gue manggil lo Jamur Kuping, abis rambut kok kayak jamur. Tapi sebenernya, gue sayang kok sama lo. Lo saudara gue yang paling the best! Jagain papa sama mama ya. Jangan biarin mereka kecewa sama lo, seperti mereka kecewa sama gue.”
Ray menatap Agni yang tengah berkaca-kaca. Ray pun ikut berkaca-kaca. Rasanya, tak tega ia melihat saudaranya itu menangis.
“Agni. Jangan ngomong gitu. Gak ada yang tahu batas umur manusia. Gue gak mau lo ninggalin gue! Gue sayang lo. Walaupun lo kadang nyebelin, ngebetein, jelek, dsb lah. Tapi gue sayang lo. Karena lo adalah separuh jiwa gue, Ag.”
Agni merasa bulir-bulir hangat itu telah membasahi pipinya. Ia menyekanya pelan, lalu tersenyum.
“Ray, lo mau ngabulin permintaan gue, gak?” Tanya Agni, Ray menatap Agni dengan tatapan: ‘apaan-permintaan-lo-?’
“Gue mau, orang terakhir yang gue liat sebelum gue tidur dengan tenang itu Cakka. Karena dia, gue bisa semangat hidup, semangat buat ngelanjutin hidup gue yang ngga ada artinya ini. Plis..”
“Iya, insyaAllah gue kabulin, ya, Ag.”
Agni menggangguk lalu tersenyum tenang.
^^
Cakka memandang jam yang ada di pergelangan tangannya dengan gelisah. Sudah 1 jam setelah ia dan Oik resmi bertunangan. Tapi, entah kenapa ia risau sendiri. Para tamu satu persatu berpamitan pulang. Sementara Cakka, ia sibuk mondar-mandir di kamarnya sambil terus menatap frame di atas meja belajar.
‘Drrrtt.. Drrrtt..’
From: Agni ^^
Ini gue Ray.
Agni bntr lagi mau tampil.
Lo mau ninggalin penampilan terakhir dia?
Gue udh siapin tempat khusus buat lo.
Buruan kesini.
—
To: Agni ^^
Penampilan terakhir?
Maksud lo?
Oke, gue ksn skrg.
—
Tanpa babibu, Cakka menyambar kunci motor yang ada di meja belajarnya. Jas hitam dipadukan dengan kemeja merah maroon belum terlepas dari badan Cakka.
“Kka, mau kemana?” Tanya Oik begitu Cakka berjalan melewatinya.
“Ke sekolah. Bentar aja kok.”
Oik menggangguk. Cakka tersenyum, ia berlari menuju garasi dengan sejuta pertanyaan bergelayut di dalam hatinya.
^^
“Hadirin sekalian, kita sambut penampilan istimewa kita. Agni Tri Nubuwati dari kelas XI IPA-1!”
Tepuk tangan membahana begitu sang pembawa acara menyebut nama Agni. Agni, dengan dress hitam yang dipadukan dengan bando berwarna putih di atas kepalanya duduk di kursi yang telah disediakan. Ia menggendong sebuah gitar. Senyum manisnya terpancar di wajah pucatnya.
“Selamat malam, semua. Lagu ini Agni persembahin buat semua orang yang selama hidup Agni selalu membuat Agni bahagia. Selalu mewarnai hari-hari Agni yang suram karena penyakit mematikan. Gagal Ginjal.”
Orang-orang disana tak percaya mendengarnya. Terlebih seorang lelaki yang sudah hadir sejak beberapa menit yang lalu. Ia menatap ke arah Ray yang tengah duduk santai.
“Baru tau lo sahabat lo itu mengidap penyakit separah itu? Kemana aja, mas?”
Lelaki itu menelan ludah. Ia kembali menatap ke Agni.
“Pertama, Agni ucapin makasih untuk kedua orang tua Agni, Papa dan Mama. Maaf ya, mah, pah, selama ini Agni pasti selalu buat kecewa ya? Hehe. Yang kedua, untuk saudara kembar sial gue, hehe Muhammad Raynald Prasetya, Ray. Walau lo kadang ngebetein, nyebelin, minta dilempar panci, dsb, tapi lo tetep saudara gue yang the best. I love you, bro! Yang ketiga.. 2 sahabat gue yang cantik-cantik.. Ashilla Zahrantiara dan Sivia Azizah. Yang hari ini bawa pasangan masing-masing. Shilla sama Gabriel, dan Sivia sama Alvin. Gue ngucapin makasih banyak buat kalian. Karena kalianlah yang ngajarin gue arti sahabat, arti berbagi, gue sayang kalian berdua!”
Agni menghela nafas, tak sengaja, matanya bertemu dengan lelaki yang tengah menatapnya dengan sejuta pertanyaan. Agni mengembangkan senyumnya lebar.
“Dan yang terspecial.. Sangat special. Terima kasih buat si kalong lapangan basket. Hehe maksud gue Cakka Kawekas Nuraga. Best Friend gue selamanya. BFF gue. Dia yang ngajarin gue apa itu artinya cinta, artinya berkorban, artinya ikhlas, dan apa rasanya patah hati. Semua deh. Lengkap dia kayak martabak. Special pokoknya. Lagu ini, gue nyanyiin. Just for you, Cakka.”
Intro lagu Satu Jam Saja memanjakan telinga para penonton malam itu. Agni memejamkan matanya, lalu tersenyum.
Jangan berakhir.
Aku tak ingin berakhir.
Satu jam saja.
Kuingin diam berdua, mengenang yang pernah ada.
Jangan berakhir.
Karena esok takkan lagi.
Satu jam saja.
Hingga kurasa bahagia, mengakhiri segalanya.
Tapi kini tak mungkin lagi.
Katamu semua sudah tak berarti.
Satu jam saja.
Itu pun tak mungkin, tak mungkin lagi.
Jangan berakhir.
Kuingin sebentar lagi.
Satu jam saja.
Izinkan aku merasa..
Rasa itu pernah.. ada.
Tepuk tangan riuh mengiringi langkah Agni menuju belakang panggung. Agni tersenyum melihat Shilla dan Sivia yang sudah berdiri disana. Merentangkan kedua tangannya. Agni merasa tubuhnya semakin ringan, dan..
^^
Tuhan, tolong kabulkan doaku dan doanya. Berikanlah ia hidup. Berikan dia kekuatan untuk merasakan hidup. Biarkan ia bernafas kembali. Biarkan dia merasakan cinta yang pernah tertunda dari hambamu ini, Tuhan. Jangan kau ambil dia. Sebelum kata itu terucap dari mulutnya. Walaupun kau hanya memberi.. Satu Jam Saja.
^^
Semua bermunajat memanjatkan doa untuk keajaiban. Kejaiban demi gadis yang berjuang antara hidup dan mati. Lelaki itu memejamkan matanya, seluruh kenangannya bersama gadis itu berputar dikepalanya.
Pintu ruang UGD terbuka. Dokter berkacamata tipis itu menatap kedelapan orang yang tengah menunggu kabar darinya. Orang tua dari Agni lansung berdiri. Ia menatap orang tuanya dengan lesu.
“Sepertinya ia sudah mengetahui. Sudah saatnya.” Ucap dokter itu lemah.
“Sebaiknya, anda berdua mengunjungi Agni terlebih dahulu,”
Mama dan Papa Cakka memasuki ruang UGD. Entah apa yang diucapkan Agni, ketika keluar dari sana, Mama Agni menangis histeris dan tak sadarkan diri. Setelah Orang tua Agni, giliran Sivia dan Alvin yang masuk. Sama halnya dengan Mama Agni, Sivia menangis histeris. Memecahkan keheningan koridor rumah sakit pukul 11 malam. Shilla demikian, begitu keluar dari sana, ia menangis tersedu. Tak histeris seperti Sivia. Sepertinya Gabriel lebih mudah menenangkan Shilla. Tinggal Cakka dan Ray. Ray yang masuk terlebih dahulu. 1 jam sebelum jam 12, Ray keluar. Ia menyuruh Cakka untuk masuk ke dalam.
Dengan langkah gontai, Cakka memasuki ruang bercat putih dengan bau khas rumah sakit yang menusuk hidung. Cakka menatap gadis yang terbaring lemas dengan beberapa selang di tubuhnya.
“Kka..” Panggil Agni. Cakka merasakan seluruh tubuhnya panas dingin.
“Ya, Ag..” Jawab Cakka.
“Sini.. Duduk sini,” suruh Agni. Cakka duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Agni.
“Kka, aku mau duduk,” Pinta Agni. Cakka menggeleng.
“Kamu masih lemah.”
“Gamau. Aku mau duduk, Cakka..” Cakka mengalah. Ia menuntun Agni untuk duduk di tempat tidurnya. Agni menghela nafas. Wajahnya yang ceria hari itu terlihat sangat pucat.
“Sebelumnya.. Aku minta maaf. Maaf. Aku gak ngasih tau kamu tentang penyakitku. Aku gak mau kamu benci aku karena penyakitku,” Lirih Agni. Bulir-bulir itu membasahi pipi Agni. Cakka beranjak dari tempatnya duduk, lalu menghapus air mata itu.
“Gak akan aku benci kamu karena penyakitmu. Aku menyayangimu, Ag. Jauh sebelum aku mengenal Oik. Maaf. Maaf karena aku gak jujur sama perasaanku. Aku takut kamu marah. Apalagi kamu bilang, kamu lagi kagum sama seseorang.” Aku Cakka. Agni menampakkan senyum manisnya. Ia meraih tangan Cakka, lalu dielusnya tangan gembul itu.
“Aku menyayangimu, jauh sebelum kamu mengenalku. Aku menyayangimu. Kamu tau? Aku selalu ngeliatin kamu kalo kamu lagi main basket. Gayamu yang cool dan seksi haha makanya aku suka kamu,” Cakka tersenyum manis.
“Aku suka gayamu yang sok dewasa tapi childish.” Ucap Cakka, Agni tersenyum kecil. Ada jeda di obrolan mereka. Agni menatap jam yang ada di pergelangan tangan Cakka. Pukul 11.30.
“Kka, peluk aku. Plis...” Pinta Agni. Cakka tanpa babibu lansung memeluk tubuh mungil itu. Agni merasakan sejuta perasaan damai memenuhi syaraf di tubuhnya. Agni mulai merasakan tubuhnya meringan. Ia mengeratkan pelukannya pada Cakka. Cakka terus mengeratkan pelukan itu pada Agni. Agni tersenyum damai. Ia menikmati pelukan terakhirnya bersama Cakka.
“Kka..” Lirih Agni.
“Yah?”
“Jagain Oik. Cintai dia.. Seperti kamu mencintaiku. Aku sayang kamu. Sangat.”
“Jangan tinggalin aku, Ag. Aku yakin kamu pasti selamat! Kamu pasti bertahan!.”
“Kka, nyanyi satu bait aja untuk aku. Plis.”
Cakka mendekatkan bibirnya ke telinga Agni, “Kembalilah. Kembali padaku, hanya itu yang membuat aku tenang. Kembalilah, kembali padaku. Aku takkan pernah bisa, hidup.. tanpa Agni.”
Arah jarum jam mulai mendekati angka 10. Agni dapat merasakan jantungnya mulai berdegup pelan. Tak secepat biasanya. Cakka makin mengeratkan pelukannya. Detik demi detik bergulir. Agni mulai merasa semuanya akan berakhir beberapa menit lagi. Ia mulai mendekati telinga Cakka.
“Cakka.. Aku cinta kamu. Sangat.. Men.. Cin.. Tai.. Mu..” Bisik Agni tepat ditelinga Cakka. Cakka mengeratkan pelukannya.
“Aku juga sangat mencintaimu.”
Tek!
Jarum jam panjang telah berhenti di angka 12. Perlahan, tubuh Agni semakin lemas. Cakka dapat merasakannya. Detak jantung Agni tak ia rasakan lagi. Deru nafas Agni pun tak terdengar lagi. Bunyi ‘tiiiiitt’ panjang mengakhiri semuanya. Perlahan, Cakka meletakkan tubuh itu di ranjangnya. Seulas senyum terukir di wajah Agni. Agni pergi dengan tenang. Cakka mengelus rambut Agni untuk yang terakhir kali. Dipasatinya wajah manis itu. Yang tak akan bisa di pandanginya lagi.
“Selamat jalan, Agni. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
Cup. Cakka mencium pipi Agni yang dingin itu. Cakka menggenggam erat jemari Agni. Agni memang telah pergi. Tapi jauh di dasar hatinya, Agni masih hidup.
Cakka keluar dari ruang UGD tersebut. Semua mata memandangnya. Mereka dengar bunyi pendeteksi jantung yang menandakan nafas Agni terhenti. Mereka tersenyum karena melihat Cakka tak menangis. Yang ditemukan mereka hanya seulas senyum.
“Agni telah pergi,”
^^
26 June 2011..
3 hari setelah kematian manisku. Semua menerima kepergiannya dengan lapang dada. Walau ku tahu, semua pasti bersedih karena kematian peri baik hati. Agni Tri Nubuwati.
Hari ini genap ia berusia 17 tahun. Usia remaja yang sudah menuju dewasa. Aku memanjatkan doa untukmu hari ini. Dan seusai ini, kami akan merayakan ulang tahunmu. Aku yakin, kamu pasti masih diantara kami. Aku tunggu di pesta ulangtahunmu. Jam 7 malam nanti.
Happy Birthday Agni. Aku selalu mencintaimu.
- With Love -
Cakka Nuraga
Cakka meletakkan bunga mawar putih di atas gundukan tanah merah itu. Ia mengelus nisan bertuliskan nama gadis yang selalu mengisi relung hatinya. Ia sudah tenang disana. Dan Cakka yakin. Suatu saat nanti, mereka akan dipertemukan kembali. Di dunia yang lain.
^^
Maaf, kutelah menyakitimu.
Kutelah kecewakanmu.
Bahkan, kusia-siakan hidupmu.
Dan kubawa kau seperti diriku.
Walau, memang ini yang terbaik.
Untuk diriku dan dirinya.
Tapi kulakukan semua demi cinta.
Akhirnya juga harus kurelakan.
Kehilangan cinta sejatiku.
Segalanya tlah kuberikan.
Juga semua kekuranganku.
Jika, hanya ini yang terbaik.
Untuk diriku dan dirinya.
Kan kuterima semua demi cinta.
Jujur, aku tak kuasa.
Saat terakhir ku genggam tanganmu.
Namun yang pasti terjadi.
Kita mungkin kan bersama lagi.
Bila nanti esok hari.
Kutemukan dirimu bahagia.
Izinkan aku titipkan.
Kisah cinta kita, selamanya..
Tepuk tangan mengakhiri penampilan Cakka malam itu. Cakka tersenyum sambil membungkukkan badannya. Begitu ia menghadap ke kanan, dari tangga, ia melihat gadis manis berambut sebahu lebih, dengan pakaian serba putih. Senyumnya manis. Ia seperti membentuk sebuah kata dari tangannya. Cakka mengerti maksudnya. Cakka tersenyum lalu mengucapkan kata “love your forever too” tanpa suara. Agni tersenyum, lalu menghilang ketika Cakka menatap ke arah kawan-kawannya.
Aku menunggumu. Menunggu kau hadir kembali di sisiku. Dan menggenggam tanganku erat.
- Agni -
Tunggulah aku. Aku akan menjagamu kelak. Di dunia yang lain. Dunia yang kekal abadi.
- Cakka -
# The End #
Kerennya gak nanggung'' ini Kak huh
ReplyDeletepengen nangis rasanya tapi karna lagi puasa gak jadi deh nangisnya .-.
Trus Kak lagu terakhirnya kenapa musti Demi Cinta itu lagu paling 'nyes' yg bisa bikin aku nangis Kak u,u
HAHAHA =))
DeleteAh adek mah telat ceritanya sebelum puasa udah dibuat u,u Makasiih yaaaa udah nangis:p