Title : Closer
Author : Achma Desvania (Choi Minji)
Cast :
-
Choi Minho
-
Choi Jinri
-
Krystal Jung
-
Lee Taemin
Genre : Romance, School Life
Rating : PG
Length : Twoshoot
…
A/N: Berhubung
lagi suka sama pair yang satu ini, terinspirasi membuat karya yang masih jauh
dari kata sempurna ini-_- Oh iya, jangan lupa commentnya dan kritik. Kritik
yang dikasih itu membangun untuk bisa lebih baik lagi. So, happy reading^^
*tebarchu~*
Chapter 1 of 2.
…
Pagi
itu, di kelas 10-A, seorang yeoja merenung sendiri di bangkunya. Ia
menghabiskan waktu di pagi hari yang mendung ini di kelas, memandang beberapa
anak lelaki yang bermain bola dari jendela kelasnya. Senyumnya kadang
terkembang begitu saja melihat tingkah lucu yang spontan dilakukan oleh
anak-anak lelaki dibawah ketika mereka berhasil memasukkan bola ke gawang
lawan. Banyak anak yeoja sepantarannya maupun yang levelnya lebih tinggi
darinya memberi dukungan dari pinggir lapangan ataupun sekedar menonton
pertandingan yang setiap hari selalu dilaksanakan oleh kelas atletik.
Yeoja
itu mendesah pelan. Namanya Choi Jinri. Beberapa teman yang tidak terlalu akrab
dengannya memanggilnya Jinri. Namun, eomma dan kakak lelakinya memanggilnya
Sulli. Ia sudah cukup lama ditinggal
oleh appa-nya. kira-kira ketika ia masih berumur 11 tahun. Appanya menderita
penyakit ginjal dan harus merenggut nyawanya di usia yang masih tergolong muda.
Dan sedihnya, penyakit mematikan itu diturunkan padanya.
“Ayo
kita cari pendonor untukmu di luar Korea, Sulli-ah.” Ajakan eomma dan kakak
laki-lakinya itu selalu terdengar kala Sulli harus terbaring lemah dirumah
sakit karena penyakitnya. Namun, jawaban yang diberinya selalu tidak. Untuk apa
menghabiskan uang eomma yang dicari susah payah hanya untuk pengobatannya? Toh,
ia akan berakhir seperti appanya juga.
…
“Aku
sudah mencari jalan keluar dari permasalahan yang akhir-akhir ini membuat
kepalaku hampir pecah. Dan jalan keluarnya itu ada pada dirimu, Choi Jinri.”
Jinri
menatap Hyubin songsaenim lalu bertanya. “Permasalahan apa?”
“Kau
tahu Choi Minho, ah menyebut namanya saja kepalaku kembali pusing. Ya, anak
badung yang baru masuk 3 bulan yang lalu. Nilainya selalu saja dibawah 4. Anak
itu juga jarang masuk kelas dan selalu membuat guru muda yang mengajar dikelas
kita menangis ketika menegur kemalasannya itu. aish, kepalaku…”
Pikiran
Jinri lansung melayang pada namja tampan bermata bulat yang tengah populer di
sekolah mereka semenjak kedatangannya di sekolahnya 3 bulan yang lalu.
Kelakuannya memang tengah menjadi masalah bagi guru yang mengajar di kelas mereka.
belum lagi, kelas yang ditempati Jinri adalah sarang para murid teladan yang
IQ-nya diatas rata-rata. Dan Choi Minho, lelaki itu, dengan mudahnya masuk di
kelasnya dan mengacaukan predikat ‘kelas terbaik’ yang melekat di kelasnya
selama 6 bulan belakangan ini.
“Jinri-ah?
Jadi bagaimana, kau mau kan menerima tawaranku ini?” Tanya Hyubin songsaenim
yang lansung membuatnya menoleh kearah lelaki tua berumur sekitar 43 tahun itu.
“Tawaran…
apa?”
“Kumohon,
bantu aku Jinri-ah.” Tatapannya tajam lurus menatap Jinri. “Ubah Minho dan
berikan ia pelajaran tambahan.”
…
“Jadi kau Choi Jinri? Kudengar kau akan memberiku
pelajaran tambahan? Ehm, kalau begitu, kapan kita akan mulai belajar bersama?
Ah, aku tidak sabar untuk itu.”
Dan
disinilah ia sekarang. duduk di sudut cafeteria dengan segelas teh hangat yang
asapnya masih mengepul di udara. Setumpuk buku tergeletak disamping tas cokelat
kulitnya yang merupakan hadiah dari kakak laki-lakinya ketika ia masuk ke
sekolah elit ini.
“Aish,
sudah hampir setengah jam. Kemana namja babo itu?” Keluh Jinri. Bila ternyata
lelaki itu tidak bisa datang, ia harus menunggu lebih lama karena ia terlanjur
mengirim pesan pada kakaknya agar menjemputnya lebih lambat dari biasanya
karena ada urusan sebentar dan kakaknya adalah tipe lelaki pekerja keras yang
tidak mau meninggalkan pekerjaan karena adiknya tiba-tiba minta dijemput.
“Jangan
mengatakan seseorang babo bila tidak ada orangnya.”
Jinri
terlonjak, lalu menatap lelaki yang duduk di hadapannya dengan santai. Ia
menatap Jinri sebentar lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Jadi,
Sulli-ah, apa yang akan kita pelajari?”
Jinri
lagi-lagi terlonjak. Sulli-ah? Darimana ia tau panggilan itu? Dan sejak kapan
ada orang yang memanggilnya Sulli-ah atau Jinri-ah selain guru Hyubin dan
keluarganya? Sok kenal sekali lelaki songong ini, pikir Jinri.
“Aku
tidak punya banyak waktu untuk melihatmu terdiam seperti itu.” Lelaki itu
menatapnya sekilas, lalu kembali pada ponselnya.
Jinri
mengatur nafas sebelum membuka buku chemistry yang sudah disiapkannya. “Bagian
mana yang belum kau pahami, Minho-ssi?”
“Seluruhnya
aku sudah paham.” Jawab Minho sekenanya. Oke, Jinri, kau harus sabar menghadapi
namja songong dihadapanmu ini.
“Bila
kau sudah paham, lalu mengapa nilaimu masih selalu dibawah 4?”
Minho
tertawa. “Kau ini perhatian sekali padaku. Kalau saja tidak ada Krystal,
mungkin kau akan kutembak sekarang juga. Atau kau mau menjadi selirku?”
Jinri
tak menggubris. Ia lebih memilih menjelaskan beberapa materi yang diajarkan
sebelum lelaki ini masuk di sekolahnya lalu materi yang baru-baru ini
dipelajari di kelasnya. Ia menjelaskan sambil menyodorkan kertas berisi contoh
soal materi yang tengah dijelaskannya. Melihat lelaki itu hanya asik dengan
ponselnya, Jinri berang. Ia menutup buku chemistry tebal itu dengan kasar dan
keras.
“Ya,
Minho-ssi. Aku sedang tidak ingin bermain-main sekarang. Aku tidak memiliki
waktu untuk meladeni namja sepertimu.”
Minho
hanya menoleh sekilas. “Lanjutkan saja. aku mendengarkanmu sedaritadi kok.”
“Baiklah
kalau kau mendengarkanku, tolong ulangi seluruhnya yang kujelaskan padamu.”
Jinri tersenyum. kena kau.
“Itu
bukan hal yang sulit.” Dan tanpa Jinri duga, lelaki itu dapat mengulangi apa
saja yang dijelaskannya termasuk bagian-bagian yang sulit pun dapat
dijelaskannya. Dengan baik. Tanpa melihat buku. Dan membuat Jinri hampir
kehilangan nafasnya. “Bagaimana?”
Jinri
tergagap. Tiba-tiba saja suaranya menguap entah kemana. Minho tersenyum. “Kalau
begitu, aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yang jauh lebih penting dari ini.
Bye, Sulli-ah. Sampai bertemu esok hari!”
Dan
lelaki itu pergi. Meninggalkan Jinri yang masih shock atas kejadian tadi.
Lalu
kalau ia bisa menghapal hanya dengan mendengarkan orang berbicara saja, mengapa
ia tidak bisa mendapat nilai diatas 4 dan membiarkannya bebas tanpa harus
memberi pelajaran tambahan kepada Minho?
…
Hujan.
Jinri
memandang jendela kamarnya yang dihiasi bulir-bulir air hujan sambil
membuka-buka buku fisika tanpa niat. Malam ini malam minggu. Beberapa anak
seusianya pasti sedang bersantai dengan teman sepermainan mereka di pantai atau
menghabiskan waktu dengan berbelanja dan bermain di mall. Atau bisa saja
berjalan-jalan mengelilingi kota Seoul dengan teman atau kekasih mereka seperti
yang sering dilakukan Jinri. Sebelum appa meninggal.
Sebelum appa meninggal. Pergi meninggalkannya, eomma, serta kakak
laki-lakinya. Membiarkan kedua orang itu sibuk mengurus perusahaan appa yang
ada dimana-mana letaknya itu. membuat kedua orang itu tak punya waktu untuknya.
Untuk Sulli. Untuk Choi Jinri.
Ia
memiliki eomma yang pernah menjadi model, makanya bentuk tubuh Jinri sangat
mirip dengan postur model yang menurun dari ibunya. Jung Sooyoung. Begitulah
nama ibunya ketika ia masih terkenal di dunia hiburan. Wanita anggun yang
memiliki kaki jenjang, dengan wajah oriental yang memiliki campuran Korea dan
Indonesia—kakek Sooyoung memiliki keturunan Indonesia—terkenal di pertengahan
tahun 1980. Lalu, diakhir tahun 80 ia dilamar oleh lelaki yang berprofesi sebagai
anak pewaris Choi’s Company yang memiliki cabang perusahaan di berbagai Negara,
Choi Siwon.
Setahun
setelah menikah, Sooyoung dan Siwon mendapatkan anak pertama mereka. Choi
Donghae. Si pemalas yang selalu mendapat peringkat terbawah di kelasnya
semenjak duduk di bangku SD itu bermetamorfosis menjadi lelaki dewasa yang
tampan dan pekerja keras. Tidak pantang menyerah, dan sangat menyayangi
keluarga.
Setelah
lima tahun Choi Donghae menjadi anak tunggal dan tak punya teman dirumah
kecuali beberapa teman sekomplek, sang ibu melahirkan seorang adik manis
berjenis kelamin perempuan yang diberi nama Choi Jinri. Bertolak belakang
dengan Donghae, sejak duduk di SD ia selalu mendapat peringkat dan selalu
mendapatkan kebahagiaan dari keluarga kecilnya.
Sampai
ketika ia akan melanjutkan pendidikan dari SD menuju SMP, kepergian appa-nya
menghancurkan seluruhnya. Bahkan menguapkan seluruh keceriaan Sulli yang selalu
ditunjukkannya setiap hari. Demi Sulli, ibunya, Choi Sooyoung atau Jung
Sooyoung itu rela mengambil alih pekerjaan yang dikerjakan oleh Choi Siwon
setiap hari. Begitu pula dengan kakaknya, Donghae. Ia rela meninggalkan karier
gemilangnya di sebuah boyband yang dibentuknya ketika SMA. Bahkan rela
meninggalkan kekasihnya yang tengah bersekolah di Amerika, Jessica Jung, dan
rela dijodohkan oleh Kim Yoon Ah, anak pemilik Kim Corp yang dapat mempererat
kerja sama diantara kedua perusaan besar di Korea.
Jinri
masih sangat ingat ucapan eommanya ketika ia merengek menyuruhnya dan Donghae
berhenti dari pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktu yang dihabiskannya
dirumah.
“Kau
sakit, Jinri-ah. Aku harus bisa membuatmu kembali sembuh dan mengobatimu sampai
kau sembuh. Aku tak akan membiarkanmu bernasib seperti ayahmu. Kau akan sembuh,
Jinri-ah. Bersabarlah.”
Tanpa
terasa, Jinri telah menangis. Membuat beberapa tetes dari air matanya berbekas
di buku fisikanya. Tiba-tiba saja, Jinri merasa kesepian. Sangat kesepian.
…
Choi
Minho bosan seharian hanya menghabiskan waktu di bar terkutuk ini. Menemani
Krystal yang pemabuk berat itu memang bukan hal yang benar. Dengan kesadaran
penuh, Choi Minho meninggalkan Krystal yang benar saja, sudah tidak sadar lagi
bahwa ia ditemani oleh kekasihnya yang dari awal tidak suka diajak ke tempat
ini.
Minho
melempar pinggulnya ke kap mobil. Tiba-tiba saja ia teringat akan masalah pelik
yang ada disekolahnya. Teguran guru, melaporkan pada ayahnya, dan hampir diusir
oleh ayahnya. Minho mendengus. Seharusnya ia tidak usah dipindahkan saja dari
Tokyo. Ia sudah sangat betah disana dan nyaman karena tinggal bersama ibunya.
Masih teringat dikepalanya ketika hari itu ayahnya datang kesekolahnya yang
berada di Tokyo, mengurus kepindahannya, dan dengan seenaknya memaksanya pulang
ke Korea. Apalagi alasan ayahnya memaksanya pulang kalau tidak untuk tawaran
menjadi penerus perusahaan yang bersaing dengan perusahaan terbesar di Korea
yang prestasinya yang sudah sampai international, Choi’s Company.
Entah
bila mengingat sekolah, ia teringat pada gadis itu. Gadis yang selalu menutup
dirinya untuk orang disekitarnya. Gadis yang membuat dunia sendiri yang lain dari
dunia tempatnya berpijak. Gadis yang ingin dihargai dan memiliki tanggung jawab
walaupun ia tidak menyukai hal yang harus dipertanggung jawabkannya itu.
Choi
Jinri.
Ia
masih mengingat, awal ia datang ke sekolah itu. gadis itu duduk di bangkunya.
Dengan serius ia menatap kearah jendela dan kadang ia tersenyum. walaupun
senyumnya tak dari hati.
“Serius
sekali.”
Itu
kata-kata yang menjadi kalimat awal pembuka perkenalan mereka. gadis itu hanya
menoleh—dengan tatapan datar dan ekspresi yang sama datarnya—lalu kembali
menatap jendela. Merasa tidak diinginkan kehadirannya, Minho mendengus lalu
pergi mencari bangku yang sekiranya kosong untuk didudukinya.
“Gadis
itu… kemana ya malam minggu seperti ini?” Tanya Minho. Ia merogoh saku
celananya, dan menatap ponselnya. Tiba-tiba saja ia tersenyum dan segera masuk
ke dalam mobilnya. Meninggalkan Krystal yang entah bagaimana kabarnya di dalam
bar terkutuk itu.
…
Jinri
mengeratkan jaket merahnya yang tidak bisa menghilangkan rasa dingin yang
menggelitik kulitnya. Ia menghela nafas. Mengeluarkan asap putih dari mulut dan
hidungnya. Entah mengapa ketika menerima pesan singkat itu, ia bergegas
membereskan beberapa buku yang ada di atas mejanya dan bergegas menuju taman
ini dengan taksi.
“Kemana
dia?” Tanya Jinri. Takut bila ternyata ia hanya dipermainkan oleh orang yang
mengirimkannya pesan singkat itu.
“Hei,
Sulli! Disini!”
Jinri
lagi-lagi akan menelan lelaki bernama Choi Minho itu kalau saja ia ingat bahwa
ia tidak bisa menelan lelaki itu bulat-bulat dan ia bukan kanibal atau hewan
karnivora.
“Mian,
telat ya?”
Jinri
mendengus. “Mengapa kita harus belajar di tengah taman sepi ini?” Tanya Jinri. Ia
mengeluarkan beberapa buku tebal yang disiapkannya dari rumah. Melihat itu,
Minho mengernyitkan dahi.
“Aku
tidak mengajakmu keluar untuk mendapatkan tambahan belajar atau kita akan
belajar bersama.” Ucapan Minho membuat Jinri menoleh dan menghentikkan aktivitasnya
membuka lembaran demi lembaran buku dengan tangannya yang hampir membeku.
“Jadi?”
Tanya Jinri. Minho tersenyum manis.
“Ayo
kita berkencan, Sulli-ah.” Dan Jinri lagi-lagi—hampir setiap kali bertemu
Minho—terlonjak dan kali ini ia melotot tajam pada Minho yang masih tersenyum.
“Kalau
kau memang tidak ingin belajar atau ada pelajaran tambahan seperti ini, aku
akan pulang. Selamat malam.”
Jinri
hendak meninggalkan tempat yang membuatnya hampir mati beku ketika sebuah
tangan kekar menggenggam jemarinya yang tak bersarung tangan, membuatnya
menghentikkan langkah. Jinri terdiam ditempatnya.
“Ayolah,
Sulli-ah. Kau sudah datang kesini dan masa aku harus membiarkanmu pulang begitu
saja? Kumohon. Kupastikan kau akan bersenang-senang mala mini.”
Jinri
melepaskan tangan Minho kasar. “Maaf, tapi aku tidak akan pergi berkencan
begitu saja dengan lelaki yang baru kukenal beberapa hari yang lalu.”
“Bagaimana
kalau…” Minho kehabisan akal. Satu-satunya cara agar ia bisa menahan Jinri
adalah alasan Jinri untuk menemuinya tadi. “kita belajar bersama? Aku memang
ada niat untuk belajar kok mengajakmu bertemu tadi, hehe.”
Luluh,
akhirnya Jinri menggangguk dan kembali duduk di bangku taman yang sepi itu,
mengambil buku di tas, dan membuka lembaran demi lembaran buku dengan tangannya
yang memerah karena dingin.
“Sulli,
kau tidak memakai sarung tangan?” Tegur Minho begitu melihat tangan Jinri yang
sudah memerah.
“Bukan
urusanmu.” Jawab Jinri, ketus. “Dan jangan panggil aku Sulli lagi. bagaimana
kau tahu kalau Sulli adalah nama panggilanku?”
Minho
tersenyum misterius. “Ah, itu sangat gampang untukku, Sulli-ah. Mengapa?
Bukannya itu lebih imut disbanding Jinri? Ah, tapi Jinri juga sama imutnya.”
Jinri
tak menggubris lagi, ia lebih memilih mulai menjelaskan materi fisika yang tadi
sempat dibacanya dirumah daripada meladeni pujian dari Minho yang tidak penting
untuk didengarkan.
…
Pagi
yang cukup dingin. Jinri membuka matanya perlahan dan menaikkan selimutnya yang
hanya menutupi sebagian tubuhnya ketika dingin tiba-tiba menyapa kulitnya yang
sensitive. Tiba-tiba saja Jinri merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya,
dibagian terkiri dari perutnya. Dimana ginjalnya berada. Dan rasa sakit itu berpengaruh
pada pandangan serta keseimbangannya yang tiba-tiba saja semakin kabur ketika
ia mencoba mengetuk kamar kakaknya.
Tepat
ketika Donghae membuka pintu kamar, Jinri jatuh tak sadarkan diri.
…
Minho
menatap ponselnya yang tidak bereaksi apapun sedari tadi. Sepertinya ia sedang
menunggu pesan karena aplikasi yang dibukanya sedari tadi adalah aplikasi
pesan. Ia kembali mengirim pesan yang ditujukan untuk contact bernama Jinri Choi.
Tetapi tetap saja pesan itu tak kunjung dibalas.
“Aish,
kemana gadis itu? Bel masuk sudah berbunyi dari tadi. Mungkinkah gadis itu
terlambat? Aigo, kenapa aku jadi mengkhawatirkannya? Biarkanlah ia terlambat
atau tidak, itu tidak akan menggangguku juga.”
Ternyata
dugaan Minho melenceng. Gadis itu tidak terlambat. Wali kelas baru saja masuk
dan mengatakan pada guru yang mengajar bahwa murid bernama Choi Jinri tidak
dapat hadir karena dirawat dirumah sakit.
Dan
tiba-tiba saja Minho menjadi khawatir.
…
“Aigo,
aku tidak papa, eomma.”
Jinri
mencoba berdiri dengan kedua kakinya menuju kamar mandi yang terletak di sudut
ruangan. Namun, eommanya tak membiarkannya berjalan sendiri dengan kondisi yang
belum mendekati kata membaik.
“Eomma
benar-benar keras kepala.” Ejek Jinri ketika eommanya menemaninya masuk ke
dalam kamar mandi, dan menuntunnya kembali ke tempat tidur.
“Sama
sepertimu, Sulli-ah.”
Sulli
atau Jinri itu mengerucutkan bibirnya. Ia menatap ibunya yang hari itu
merelakan hari pertamanya bekerja setelah sehari berlibur tertinggal begitu
saja. baginya, Sulli lebih berharga disbanding pekerjaannya. Katanya,
pekerjaannya sudah tidak begitu banyak dan ia bisa meninggalkan urusan
kantornya untuk mengurus anak bungsunya.
“Eomma.”
Sulli menatap ibunya. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang
menjadi keinginannya setiap kali ia melihat wajah letih ibunya. “Berhentilah
bekerja.”
Mendengar
itu, Sooyoung hanya tersenyum. dibelainya rambut panjang anak gadisnya itu
dengan lembut. Membuat air mata Sulli menggenang. “Sulli-ah, bila eomma tidak
bekerja, kau tidak bisa sembuh nanti. Eomma tidak ingin kesalahan fatal itu
terulang kembali.”
Bisa
Sulli rasakan, air matanya merembes begitu saja. Lagi-lagi demi dirinya. Demi
penyakitnya. Sekali lagi, ia merasakan bahwa ia bukan anak yang baik untuk
ibunya itu.
“Dan
Sulli-ah, bisakah kau menuruti permintaanku ini? Bila kenaikan kelas nanti,
maukah kau pergi ke China bersamaku dan Donghae? Kita akan mencari pendonor
untukmu disana.”
Sebelum
sempat Sulli mengeluarkan beberapa patah kata, pintu kamar inapnya digeser oleh
seseorang. Sulli segera menghapus air matanya dan memperbaiki posisi duduknya.
Matanya membulat begitu melihat siapa yang menjenguknya. Choi Minho.
…
“Kenapa datang di jam sekolah?”
Minho
cengengesan, mendengar nada dingin dari suara Jinri. Sooyoung memilih pergi ke
cafeteria dengan alasan mencari sesuatu yang dapat diminum. Meninggalkan
keduanya dengan keadaan Jinri yang tidak seangkuh biasanya.
“Karena
kalau jam pulang sekolah, akan ramai anak-anak sekelas yang menjengukmu.”
Jinri
menoleh. “Wae? Bukankah lebih baik seperti itu?”
“Anio!
Itu tidak baik. Perhatianmu nanti tidak akan tertuju hanya padaku saja.” Minho
tersenyum. dan entah kenapa darah Jinri berdesir ketika melihat senyum itu.
“Kalau seperti ini, perhatianmu kan teruju padaku dan hanya untukku saja.”
Jinri
merasakan pipinya memanas. Aish, apa ini? Kenapa namja dihadapannya ini?
Mencoba merayunya? “Kalau kau sudah melihat kondisiku, silahkan kembali ke
sekolah.”
“Kau
mengusirku, Choi Jinri?” Pertanyaan Minho tadi dibalas oleh anggukan oleh
Jinri. “Aish, kau tega sekali mengusir namja tampan seperti ini. Kau tahu?
Yeoja-yeoja disekolah berharap dijenguk oleh lelaki sepertiku. Kau malah
mengusirku, kau akan menyesal wahai Choi Jinri.”
“Anio,
untuk apa menyesal?” Sergah Jinri tegas. “Aku tidak akan menyesal. Pulanglah
Choi Minho aku sedang ingin beristirahat sekarang.”
“Baiklah.”
Minho tersenyum lalu meletakkan buket bunga yang dibelinya. “Semoga cepat
sembuh. Cepat kembali dan cepat bersekolah. Lalu cepat ajarkan aku lagi.
sepertinya aku membutuhkan tambahan matematika. Annyeong haseyo, Sulli.
Sampaikan salam hormatku untuk Sooyoung ahjumma.”
Lelaki
itu pergi meninggalkan kamar inap Jinri. Membuat Jinri menghela nafas lega.
…
Kehidupan
Jinri kembali lagi seperti biasa. Bangun pagi, berangkat diantar Donghae Oppa,
sampai dikelas, duduk dibangkunya dan melihat beberapa anak-anak lelaki bermain
futsal. Namun kali itu ada yang berbeda di bawah sana. Lelaki yang belakangan
ini hadir di kehidupannya tengah bermain dengan lincahnya. Jinri melihat namja
itu menggiring bola, tak membiarkan lawannya mengambil alih bola yang ada pada
dirinya, dan ketika ia mendapati lawannya lengah, segera ditendangnya bola itu.
Dan… goal!
Jinri
tiba-tiba tidak bisa menghentikkan bibirnya untuk tersenyum kecil. Apalagi
ketika matanya beradu dengan Minho yang tengah melambai kearahnya. Entah
mengapa—Jinri sendiri bahkan bingung—ia membalas lambaian itu dengan senyum
yang masih terkembang.
Minho
hanya bisa mematung. Senyum gadis yang ada di lantai dua itu membuyarkan
dunianya. Lebay memang, namun itulah yang terjadi. Bibirnya tak tahan untuk
ikut tersenyum. tersadar, ia kembali berlari mengejar bola yang diambil alih
oleh lawannya sambil membayangkan senyum yang tadi tertuju untuknya.
Aigo,
ternyata Choi Jinri—gadis itu—bagai sebuah kerang yang menyimpan keindahan
didalamnya. Ia menyimpan sebuah mutiara.
…
Angin
berhembus kencang ketika Jinri merogoh tasnya dan mendapatkan ponselnya tidak
menunjukkan reaksi apa-apa saat ia memencet tombol kunci maupun menyentuh layar
touch screen-nya. Tiba-tiba saja ia panic. Pasti handphonenya itu habis
baterai. Pasti ia lupa menchargingnya semalam. Bagaimana ini?
Jinri
kembali merogoh tas dan menemukan bahwa dompetnya tertinggal di meja belajar
sehabis membeli beberapa buku di toko buku bersama Donghae Oppa semalam. Dengan
panic, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, berharap Donghae peka dan menjemputnya
tanpa menunggu pesan darinya. Sialnya, disana sudah sepi dan hanya tertinggal
beberapa orang yang tidak Jinri kenal.
Angin
semakin kencang berhembus. Menerbangkan rambutnya yang dikuncit kuda dan
roknya. Secepat kilat Jinri menyenderkan badannya di tembok agar angin tidak
menerbangkan roknya dan beberapa orang dapat melihat isi roknya.
“Sepertinya
akan turun hujan.” Keluh Jinri ketika ia merasa ada setetes air yang menyentuh
wajahnya. Semakin lama semakin banyak dan membuat Jinri kembali panic.
Buru-buru ia berlari menuju sekolahnya dan berteduh di sana.
Benar
saja, hujan lansung mengguyur tepat ketika Jinri terduduk lemah di sudut ruang
tunggu. Disana masih banyak murid yang menunggu, namun kebanyakan dari mereka
murid yang tidak Jinri kenal.
“Sulli-ah!”
Jinri
sangat berharap itu adalah Donghae, namun mendengar suaranya yang lebih berat,
harapan Jinri pupus. Si Minho ternyata. Ia memakai jaket berwarna abu-abu yang
tidak memiliki resleting—yang sudah ditanggalkannya resleting itu—dengan celana
olahraga. sepertinya ia habis dari kelas atletik.
“Ya,
Minho-ssi, sudah berapa kali kubilang, jangan panggil aku Sulli lagi.” Peringat
Jinri ketika beberapa orang menoleh kearahnya saat Minho memanggilnya Sulli.
“Wae?
Memang namamu Sulli kan?” Ucapnya santai. “Omong-omong, kenapa kau
meninggalkanku? Bukankah sudah kubilang tunggu aku di cafeteria. Aku ingin
tambahan matematika hari ini. Aku mengirim pesan untukmu.”
“Cerewet
sekali kau ini, Minho-ssi.” Ketus Jinri. “Cerewetmu itu mengalahkan seorang
yeoja saja. Ponselku mati. Makanya aku belum pulang karena tidak bisa
menghubungi kakakku.”
Minho
tersenyum. “Pulanglah bersamaku, Sulli-ah.”
“Mwo?”
Mimpi
apa ia tadi malam? Minho mengajaknya pulang bersama? Minho menggangguk lalu
tersenyum. “Tapi setelah memberikanku pelajaran tambahan. Kajja!”
Dan
Jinri hanya bisa mengikuti langkah Minho yang sudah lebih dulu berjalan menuju
cafeteria.
…
“Akhirnya
selesai.”
Jinri
tersenyum tipis, dua jam mengajarkan Minho ternyata tidak berakhir sia-sia.
Buktinya Minho cepat mengerti dan soal yang dikerjakannya hampir mendekati nilai
sempurna. Lalu, Minho juga menjanjikan membayar 2 cangkir teh hangat yang
dipesan Jinri selama dua jam ini, dan seperti janjinya sebelum mereka belajar
bersama, Minho akan mengantar dirinya sampai ke depan rumah.
“Sulli-ah,
besok kita bertemu di cafeteria jam 3, tunggu aku disana. Jangan kemana-mana. Arraseo?”
Jinri
menoleh, lalu menggangguk dan tersenyum. “Arra!” Minho menoleh, tiba-tiba saja
darahnya berdesir. Lagi-lagi senyum itu. senyum yang membuatnya lupa bahwa ia
sedang berhadapan dengan gadis yang berhati es.
“Sulli-ah.”
Minho mendekatkan jempolnya tepat di bawah hidung gadis itu. “Darah?”
Jinri
tersentak. Ditepisnya kasar tangan Minho dan merogoh tasnya untuk mencari tisu,
nihil. Ia tidak mendapatkan apapun disana. Sapu tangan saja tidak ada. “Uh.
Bagaimana hari ini aku bisa sial seperti ini.”
“Pakai
ini.” Minho menyodorkan jaket abu-abu itu padanya. “Aku tidak membawa sapu
tangan. Pakai ini, cepat.”
Jinri
ragu. “Nanti kotor.”
“Bisa
dicuci.” Ucap Minho. Ia tersenyum lalu kembali focus pada kemudi. Sementara
Jinri, ia hanya bisa mematung. Tiba-tiba ia merasa jantungnya berdegup dua kali
lebih kencang ketika ia mengarahkan jaket abu-abu itu pada bawah hidungnya dan
hidungnya yang masih mengalirkan darah. Ia dapat mencium bau khas Minho di
sana. Dan itu yang membuat jantungnya berdegup.
Semudah
itukah ia menaruh hati pada lelaki dihadapannya itu?
…
Cafetaria,
3:22 KST. Bosan.
Jinri
menekan tombol ‘tweet’ dan menghela nafas. Baru saja ia menulis tweet di
jejaring sosialnya untuk menghilangkan kebosanan yang melandanya. Sudah lebih
dari 20 menit ia menunggu seseorang yang tidak kunjung datang. Terakhir kali ia
melihatnya, namja itu hanya berkata tanpa suara, ‘Tunggu aku, ya!’ lalu
meninggalkan kelas yang masih ramai.
Baiklah,
mungkin ia memiliki urusan sebentar. Tunggu saja sebentar lagi.
.
Satu
jam sudah Jinri menunggu. Tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki bernama Choi Minho
akan menghampirinya. Baiklah. Ia menghela nafas, lalu merapikan bajunya. Ia
tidak akan menunggu lebih lama lagi kali ini. Ia rasa bila sudah satu jam tak
ada tanda-tanda kedatangannya—bahkan tak ada pesan atau panggilan—namja itu tak
akan datang.
Dan
tiba-tiba Jinri merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, pada
lelaki manapun—kecuali pada appanya, Jinri merasa… kecewa.
…
Malam
itu Donghae pulang lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa ia membersihkan
kamarnya lalu tersenyum ketika Sulli menghampirinya yang tengah memegang sapu.
“Temanku
akan datang.” Ucapnya tanpa perlu Sulli Tanya. “Bersikap manislah, dongsaengku
sayang.”
“Ya!”
Sulli merengut ketika Donghae mencubit pipinya. Donghae tersenyum lalu kembali
melanjutkan pekerjaannya—menyapu kamarnya, sambil menyenandungkan lagu yang
terdengar dari tape recorder dikamarnya.
“Oppa,
kamarmu ini sudah seperti gudang saja.” Komen Sulli. Ia menidurkan tubuhnya di
sofa kecil yang terletak di kamar milik Donghae. “Eomma belum pulang?”
“Belum.”
Jawab Donghae. “Eomma akan pulang sebentar lagi.”
Sulli
menggangguk sampai bunyi bel terdengar membuyarkan lamunan Sulli dan
menghentikkan aktivitas Donghae. “Eomma kah? Biar Sulli yang buka.”
“Gomawo,
Sulli saeng.”
Sulli
melangkah menuruni tangga dan mempercepat langkahnya ketika eommanya memencet
bel sekali lagi.
“Iya,
eomma. Sulli tau eomma pasti ca—“
Sulli
menghentikkan kalimatnya begitu melihat siapa yang ada di hadapannya. Mata
serta bibirnya ikut membulat. Bukan, itu bukan eommanya.
Itu
Choi Minho.
^^^
To Be Continued.
Comments
Post a Comment