Author: Adspaniw
Title: Cooking? Cooking!
Cast:
-
Lee Sungmin
-
Yoon Seul Hee (OC) ( bisa diganti nama korea kalian pas lagi bacanya,
kkk~)
Other cast:
-
Super Junior Happy
-
Yoon Rae Wook
Genre: Romance
Rating: PG-15
Length: 5000+ words.
Recommended Song::
Recommended Song::
-
Super Junior Happy – Cooking? Cooking!
-
Super Junior Happy – You and I
Lee Sungmin and Super Junior Happy is belong to ELF, our family, and God. Yoon Seul Hee, Yoon Rae Wook and this story is mine~ But Lee Sungmin in this story is MINE~ kkkk~ -_-v
Sungmin POV.
Dia, Yoon Seul Hee, gadis
yang berdiri di hadapanku dengan kaos oblong berwarna pastel itu, adalah
kekasihku sejak 2 tahun belakangan ini. Pertemuan singkat kami di sebuah
fanmeeting beberapa tahun lalu, membuat kami menjadi dekat dan saling jatuh
cinta. Aku masih ingat betapa agresifnya Seul Hee untuk mendapatkan tanda
tangan Heechul hyung—sebelumnya ia bukan penggemarku—dan sempat bertengkar
dengan salah satu penggemar karena menyerobot tempatnya yang sudah hampir 1 jam
menunggu di barisan itu.
Aku juga masih mengingat
bagaimana wajah Seul Hee ketika aku datang dan melerai keduanya. Wajahnya yang
tadinya beringas berubah menjadi seperti seorang anak kecil yang melihat
pangeran impiannya. Begitu imut dan menggemaskan. Ia lansung merangkul gadis
yang rambutnya sudah tak karuan lagi akibat ulahnya dan lansung berseru, “Kami
berdua sedang acting untuk mendapat perhatianmu, oppa.”
Dan sejak kejadian itu, ia
selalu ada di barisan pertama penonton ketika Super Junior—group musikku—tampil
disebuah acara music ataupun reality show. Seperti tak pernah ada waktu untuk
urusan lain. Dan yang membuatku sering memperhatikannya karena ia selalu
memakai kaos pink mencolok, yang bertuliskan ‘Yoon Seul Hee always love Lee Sungmin and proud to be Pumpkins-ELF’,
lengkap dengan banner serta lightstick yang menyala berwarna biru sapphire, dan
yang menurutku unik, sebuah topi berbentuk labu yang menggemaskan.
Suatu hari, Seul Hee datang
kepadaku; setelah menerobos penjaga dan berlari-lari karena ketahuan telah
masuk ke dalam backstage artis. Ia meminta tanda tanganku di topi labunya dan
memberikanku satu lagi yang persis dengan punyanya. Ia bilang, bahwa topi itu
adalah topi buatan tangan neneknya yang berprofesi sebagai penjahit. Dan sampai
sekarang, topi itu menjadi saksi bisu diantara hubungan kami yang sudah
menginjak tahun ke 2.
Berbeda. Satu kata selalu
kuucapkan bila ada yang bertanya apa yang membuatku menyukai Seul Hee. Gadis
itu berbeda dari gadis manapun yang pernah kutemui. Ambisius, tidak suka
ditolak, dan paling benci dengan orang yang suka berputus asa. Dia bermuka
tebal dan bernyali baja. Buktinya ia pernah menerobos dorm Super Junior tengah
malam ketika aku berulang tahun beberapa bulan sebelum kami berkencan dan
membuat beberapa member berteriak histeris karena sebagian dari mereka sedang
dalam keadaan topless.
Namun satu kekurangan gadis
ini.
Ia tidak lebih pandai
dariku… dalam soal masak-memasak. Dalam urusan satu ini, ia benar-benar lemah.
Ia tak bisa memasak nasi, sup, bahkan ramen pun, ia tidak bisa. Suatu hari,
dengan percaya dirinya ia mengatakan bahwa ia akan senang bila kekasihnya
memakan masakannya. Aku yang tidak mengetahui ‘kelemahannya’ itu berkata bahwa
aku sangat menghargai gadis yang bisa memasak untuk kekasihnya. Dan hari itu
pula aku mengetahui bahwa gadis ini tidak benar-benar memenuhi criteria gadis
impianku.
—Cooking? Cooking!—
“Oppa, hari ini kau ada
jadwal tidak?”
Aku menoleh, lalu menggeleng
sambil tersenyum. Gadis ini lansung sumringah dan berbinar. “Datanglah
kerumahku,”
“Untuk apa?” Tanyaku.
Sedikit heran karena ini kali pertamanya semenjak kami berpacaran Seul
Hee—gadis ini, mengajakku kerumahnya. Biasanya ia akan bertandang ke dorm Super
Junior, atau ke backstage Super Junior di suatu acara, dan kalau memang tidak
ada jadwal, kami akan menghabiskan waktu bersama di mal, sekedar jalan-jalan
atau makan-makan.
Gadis itu menyimpulkan
senyumnya sebelum menjawab. “Aku akan memasak hari ini,”
Aku terkesan. Baru kali ini—diantara
kekasihku yang lain—ada yang akan memasak untukku, “Jinjja? Kau akan masak apa,
chagi?”
“Ah, rahasia, datanglah
kerumahku malam ini pukul 7. Ingat, jangan membawa Kyuhyun seperti minggu
kemarin, ia sangat mengganggu dan manja sekali padamu.”
Aku tersenyum. “Siap,
captain!”
Dan pukul tujuh malam lewat
sedikit, aku sudah siap di depan rumah berwarna pink pastel—sedikit berbeda
dengan rumah lainnya yang rata-rata berwarna putih atau abu-abu. Aku membaca
alamat yang tertera di layar ponselku, lalu tersenyum kecil.
Dengan langkah mantap, aku
turun dari mobilku. Sebuket bunga mawar putih kesukaan Seul Hee tergenggam
manis di tanganku. Ternyata gadis itu sudah menunggu di depan rumahnya, dengan
senyum manis dan lambaian tangan yang membuatku menjadi tidak sabar mencicipi
masakannya. Ia masih mengenakan celemek berwarna pink pastel—sepertinya ia
sangat menyukai warna itu—dengan dress sabrina sebatas lutut berwarna biru
langit, rambut cokelat tua yang bergelombang miliknya dibiarkan terurai bebas.
Gadis itu sengaja berdandan hanya untuk makan malam berdua di rumahnya. Satu
poin untuk Seul Hee malam ini di mataku.
“Minnie Oppa,” Panggilnya
manja. Aku tersenyum membalas panggilannya. Aku menyodorkan sebuket bunga mawar
putih itu padanya, dan tentu saja ia menerimanya dengan senang hati. Seperti
biasa, ia akan tersenyum malu dan wajahnya akan berubah menjadi merah merona.
“Apa aku tidak diizinkan
masuk?”
Ia tersadar dari dunianya
dan tertawa kecil, “Aku lupa. Oppa, ayo masuk kerumah kecilku,”
Kesan pertamaku ketika
memasuki rumah ini adalah nyaman dan sejuk. Ruang tamu miliknya tidak terlalu
banyak diletakkan perabot, hanya ada sofa panjang berwarna sapphire blue dan
satu sofa kecil berwarna senada, ada meja di antara dua sofa kecil itu, dan
lemari kecil yang diatasnya berisikan bingkai foto yang dihiasi oleh wajah Seul
Hee mulai dari ia kecil sampai sekarang, beberapa fotoku, dan foto kami berdua.
Aku tak terlalu ingat kapan foto diambil, tapi seingatku itu ketika kami baru
mulai berpacaran.
“Kemarilah, oppa.”
Aku mengikuti langkahnya
menuju ruangan yang yang ada disebrang ruang tamu. Ruang makan. Aku merasakan
perutku mulai bersorak riang ketika melihat beberapa makanan tersaji di atas
meja makan yang di rancang khusus untuk 6 orang. Aku duduk di salah satu kursi
dan mulai membalik piring. Seul Hee duduk disampingku, matanya tampak berbinar
dan senyumnya tak terlepas dari bibirnya.
“Apa yang ingin kau coba
terlebih dulu, Oppa?”
Aku tersenyum. “Kalau
perutku cukup, aku akan mencoba semuanya.”
Aku memulai mengambil piring
berisikan spaghetti, mengambilnya sesendok penuh, dan tanpa berpikir panjang lansung
memasukkannya kemulutku. Dengan lahap kukunyah spaghetti tersebut, namun
semakin lama, kunyahanku semakin melambat dan akhirnya terhenti. Kucerna
baik-baik apa yang baru saja kumasukkan kedalam mulutku. Susah payah kucoba
untuk menelan gumpalan spaghetti yang tidak terurai sempurna ketika aku
mengunyahnya.
Satu detik. Dua detik. Tiga
detik, dan…
“Uhuk, Uhuk,”
Aku mengambil gelas berisi
air mineral di sisi kiri piringku. Batukku semakin menjadi-jadi setelah beberapa
teguk air masuk ke kerongkonganku. Seul Hee panic. Ia menepuk-nepuk punggungku
dan bertanya dengan nada khawatir.
“Oppa, gwenchana?”
Aku menggangguk walau dalam
hatiku sebenarnya aku ingin sekali menggeleng. Kerongkonganku perih dan panas
sekali sekarang. Terasa seperti habis menelan garam satu bungkus. Mengapa
spaghetti ini bisa asin seperti itu? Berapa sendok garam yang dimasukannya?
Tiga? Empat? Satu bungkus? Satu tangki? Dan, apa-apaan itu? Spaghettinya tidak
masak, masih keras dan seperti karet. Pertanyaan itu hampir saja terlontar dari
bibirku ketika melihat wajah manis Seul Hee yang berhasil membuatku menelan
kembali pertanyaanku. Baiklah, aku mencoba membesarkan hatinya. Ku geser piring
berisi spaghetti lautan garam itu dan mengambil sepiring beef steak yang
menggoda—dan aku berharap makanan ini tidak bernasib sama seperti spaghetti
tadi.
Aku mencoba memotong beef
steak tersebut. Lumayan menguras tenaga dan beberapa kali membuat piring itu
hampir terlempar kebawah saking semangatnya aku mengiris daging tersebut. Aku
merasakan ada yang tidak beres pada hasil masakannya yang kedua ini. Dagingnya
tidak matang, bahkan belum bisa dikatakan setengah matang. Sausnya terasa manis
dan bersoda. Tunggu, bersoda? Manis? Apa yang sudah dimasukkannya kedalam
masakannya ini? Aku menelan saliva dengan susah payah.
“Chagi, bumbu apa saja yang
kau masukkan kedalam masakanmu?”
Seul Hee mengerjap lalu
menatapku, “Aku memakai kecap dan sedikit bumbu tradisional untuk membuat
sausnya. Ah, kata ahjumma yang menjaga toko, kecap ini langka sekali di Korea.
Sebentar, akan kuambilkan.”
Firasatku tidak enak. Apakah
ia berbelanja di toko kecil yang ada di dekat dorm kami? Kalau seandainya
memang benar, maka aku sudah tahu jawaban dari ‘kecap langka’ itu apa.
“Taraa~ ini dia. Oppa,
apakah Leeteuk Hyung tidak pernah membeli kecap merek ini? Aku membelinya di
toko kecil yang ada di samping dorm-mu.”
Aku melotot. Jelas-jelas
botol yang menurutnya kecap langka itu adalah botol cola. Tidak bisakah ia membaca
tulisannya dengan benar sebelum mencampurkannya dalam masakan? Aku menghela
nafas. Dengan mata tertutup pun aku dapat memasak jauh lebih baik dari
masakannya ini. Tanpa sadar, sendok yang tadi kugunakan untuk mencicipi
masakannya terlempar dari tanganku dan tentu saja, Seul Hee melihat apa yang
kulakukan. Ia menunduk dan menatap hasil masakannya miris.
“Oppa, apa… masakanku tidak
enak?”
Aku mendongak dan menatapnya
yang sedang menatapku miris. Ah, melihatnya aku sedikit terenyuh. Kata-kata
yang ingin kuucapkan kepadanya lansung buyar dan berbalik dengan mudahnya. Aku
berbohong padanya.
“Tidak, masakanmu ini enak
kok, chagi. Untuk gadis seusiamu, ini tergolong enak.”
Ia menatapku, matanya
berkaca-kaca; antara bahagia dan sedih. Aku beranjak dari kursiku, lalu
memberikannya sebuah pelukan. Sebentuk perlakuan untuk membuktikan padanya
bahwa aku memang benar-benar menyukai masakannya. Yah, walaupun sebenarnya
masakannya jauh—bahkan sangat jauh, dari kata lezat.
“Oppa.” Panggilnya dalam dekapanku.
Aku menoleh dan mengecup ubun-ubunnya lembut.
“Ne?”
“Aku memasak pudding sebagai
makanan penutupnya, kau harus mencobanya. Ini rasa labu,”
Aku menelan ludah lalu
menggangguk samar. Haruskah aku meminum obat diare sepulang dari rumah Seul
Hee?
—Cooking? Cooking!—
Entah mengapa, semenjak
malam itu, aku dan Seul Hee jarang berkomunikasi. Aku terkesan menghindar dari
teleponnya, dan iapun sepertinya tidak begitu perduli dengan aksi
penghindaranku itu. Sedikit fakta, bahwa perasaanku seperti hilang terbawa
angin malam itu ketika mengetahui kelemahan yang dimilikinya. Jahat memang
kalau ternyata aku tak bisa menerima kekurangannya yang satu itu dan mencoba
berkata jujur bahwa masakannya tidak selezat yang kuucapkan dengan wajah manis
penuh dusta malam itu.
“Minnie, Seul Hee mencarimu.
Ia ada didepan,”
Aku menoleh. Kepala Eunhyuk
muncul dibalik sela-sela pintu kamar. Aku menutup wajahku dengan bantal.
“Katakan padanya, aku sedang beristirahat. Bilang aku sangat lelah sepulangnya
Super Junior dari Jepang,”
“Aish, kau mau berbohong
lagi? Ini sudah ketiga kalinya. Ada masalah apa diantara kalian berdua sampai
kau tidak mau bertemu dengannya?” Tanya Eunhyuk. Aku berdecak dan melemparkan
bantal kearahnya.
“Akan kuceritakan nanti,
cepat pergi dan katakana aku sedang beristirahat.”
Eunhyuk menurut. Pintu
kamarku tertutup dengan pelan dan langkah Eunhyuk yang smenjauhi kamarku dapat
terdengar jelas dari sini. Aku juga mendengar suara Eunhyuk yang dengan sangat
santai berkata bahwa aku sedang beristirahat, bahwa aku sangat lelah setelah 3
hari berada di Jepang, dan menyuruh Seul Hee untuk segera pulang karena hari
sudah mulai gelap.
“Oh begitu. Baiklah, tidak
apa-apa. Terimakasih Eunhyuk-ssi.”
“Sudah kubilang panggil aku Eunhyuk
oppa, arra?”
Terdengar suara tawa Seul
Hee yang dipaksakan, “Arra. Aku harus segera pulang. Terimakasih, Eunhyuk
oppa.”
Setelah itu, terdengar suara
pintu yang tertutup disusul suara pintu kamarku yang dibuka dengan satu
sentakan oleh Eunhyuk. Aku bangkit dan menoleh ke arahnya. Ia duduk di
sampingku dan memamerkan gummy smile-nya.
“Ceritakan padaku apa yang
terjadi diantara kau dan Seul Hee!”
Dan dengan terpaksa, aku
menceritakan apa yang terjadi beberapa minggu lalu. Sesuai dengan dugaanku, Eunhyuk
lansung tertawa tanpa henti dan membuatku menyesal sudah menceritakan hal ini
padanya. Aku mendengus, lalu menghempaskan tubuhku dengan keras.
“Ya, Sungmin, jangan marah.
Aku tidak bermasuk meledekmu. Habisnya, yeoja chingumu itu terlalu polos dan
sedikit—ralat, mungkin sangat bodoh. Kecap langka? Haha, aku tidak bisa
membayangkan bagaimana rasa beef steak itu. Tapi, Minnie… Seharusnya kau
mengatakan yang sebenarnya pada Seul Hee, agar ia tahu bahwa sebenarnya
masakannya tak layak untuk dimakan.”
Aku diam-diam menyetujui
ucapan Eunhyuk. Apakah aku terlalu jahat pada Seul Hee? Aku menjauhinya dan tak
mengabari gadis itu lagi setelah kejadian itu.
Gadis itu bahkan hampir menangis karena takut masakannya mengecewakanku.
Apa aku harus minta maaf padanya dan mengakui bahwa sebenarnya masakan Seul Hee
itu tidak enak?
—Cooking? Cooking!—
Author POV.
Sudah seminggu semenjak Seul
Hee mengunjungi dorm Super Junior dan tidak berhasil menemui Sungmin. Sudah
seminggu pula Yoon Seul Hee dan Sungmin lepas komunikasi. Keduanya sibuk dengan
aktivitas masing-masing. Yoon Seul Hee yang entah kemana, sementara Sungmin
yang sibuk dengan album terbaru group mereka. Sungmin sendiri tidak keberatan
kalau selama beberapa waktu mereka berdua tidak bertemu atau berkomunikasi
seperti sebelum kejadian ‘maut’ malam itu. Sungmin masih butuh waktu untuk bisa
mengembalikan rasa yang pernah hilang dari hatinya untuk Seul Hee sebelum ia
bertemu kembali dengan gadis itu.
Hari itu, Sungmin yang
moodnya benar-benar bagus mengajak Leeteuk, Yesung, Eunhyuk, dan Shindong untuk
makan-makan di restoran Jepang yang baru buka di etalase toko tak jauh dari
dorm mereka. Dengan senang hati keempat rekannya itu mengiyakan ajakan Sungmin—dengan
iming-iming ditraktir pastinya. Dan disinilah mereka sekarang, di meja bernomor
17 yang lansung berhadapan dengan jendela besar. Pemandangan Seoul di senja
hari menjadi teman mereka selama menunggu pesanan.
“Tumben sekali Sungmin
mentraktir kita. Apakah hari ini hari jadimu dengan Seul Hee?” Goda Eunhyuk
yang sedaritadi sangat antusias dan memesan makanan paling banyak.
“Ani, entah mengapa moodku
sedang bagus untuk mentraktir kalian hari ini.” Jawab Sungmin sambil tersenyum
manis. Sungmin membolak-balikkan menu yang diletakkan di atas meja mereka
sambil menunggu pesanan datang.
“Annyeong hasimnikka,”
Seluruh member kecuali
Sungmin menoleh, Eunhyuk memasati gadis yang berdiri di samping kursinya, lalu
menginjak kaki Sungmin yang duduk di hadapannya. Sungmin menoleh ke Eunhyuk.
Sementara Eunhyuk menunjuk gadis yang berdiri di sampingnya dengan dagu.
Penasaran, Sungmin mengikuti arah dagu Eunhyuk dan melotot sempurna.
Sedetik, dua detik.
“Yoon Seul Hee?!”
“Yoon Seul—ah, kalian pasti
mengira aku adalah Seul Hee. Kalau begitu, perkenalkan, choneun Yoon Rae Wook
imnida. Aku terlihat mirip dengannya karena aku adalah kakak kandung Seul Hee.
Kami sebenarnya sering disebut saudara kembar, padahal sebenarnya aku jauh
lebih tua 4 tahun darinya. Ah, senang sekali dapat bertemu dengan member Super
Junior.”
Sungmin memperhatikan gadis
itu tanpa berkedip, Seul Hee tidak pernah bercerita kalau ia memliki saudara
kandung yang benar-benar identik dengannya. Wajahnya sangat persis dengan Seul
Hee—hanya saja entah kenapa Sungmin lebih menyukai wajah Seul Hee—matanya
terlihat lebih tipis dengan bibir yang lumayan tebal—berbeda dengan Seul Hee
yang lebih bulat dan bibirnya lebih tipis—dan yang membuatnya sedikit berbeda
dari Seul Hee adalah tinggi badan. Gadis ini memiliki tinggi yang mungkin
setara dengan Hangeng atau Siwon. Malah gadis itu memakai high heels yang membuat
postur tubuhnya semakin tinggi.
“Aah, apa kabar Seul Hee?”
Tanya Sungmin mencoba berbasa basi dan mengundang tatapan heran dari beberapa
rekannya—kecuali Eunhyuk yang sudah mengetahui masalah mereka.
Eunhyuk mewakili Sungmin,
“Keduanya sedang ada problem, jadi jarang berkomunikasi akhir-akhir ini.”
“Pantas saja Seol jarang
mengunjungi dorm dan membawakan Strawberry Cheesecake. Gadis itu memang
gudangnya makanan,” seru Shindong yang diikuti anggukan Eunhyuk.
Mendengar kata Makanan dan
Seul Hee, Sungmin lansung teringat akan kejadian bulan lalu yang membuatnya
kehilangan sedikit rasa untuk gadis itu.
“Tapi kenapa belakangan ini
kau justru terlihat lebih gembira walaupun sedang dalam masalah dengan
kekasihmu, Minnie?” Tanya Leeteuk yang sukses membuat Sungmin terkejut.
Benarkah ia terlihat seperti itu belakangan ini?
“Ah, kau tidak tahu ya? Seul
Hee pergi ke Inggris untuk beberapa waktu,” Ucapan Rae Wook lebih sukses
membuat Sungmin terkejut. Inggris?
“Ada urusan apa dia kesana?”
Rae Wook tersenyum kecil,
“Sedang belajar. Katanya ini menyangkut hidup dan matinya,”
“Jinjja? Belajar apa? Ia
bilang ia tak berniat melanjutkan pendidikan sampai ia menjadi seorang model
papan atas? Apa ia belajar untuk menjadi seorang model disana?”
“Entahlah, ah iya, aku adalah
salah satu Ever Lasting Friend. Apakah aku boleh mendapatkan tanda tangan
kalian?” Tanyanya sambil tersenyum. ia mengeluarkan buku kecil dan sebuah pena.
Satu persatu member mulai menandatangani buku itu. sementara Sungmin masih
sibuk dengan pikirannya. Seul Hee belajar ke Inggris? Apa yang dipelajarinya
dan apa-apaan itu? Menyangkut hidup dan matinya? Tiba-tiba saja Sungmin
merasakan hatinya mulai menghangat. Lama-lama pipinya ikut memanas dan ia tak
kuasa menahan senyumnya.
Tiba-tiba saja ia merindukan
sosok gadis itu di sisinya.
—Cooking? Cooking!—
“Seul Hee?!!!”
Sungmin hampir saja menutup
kembali pintu dorm-nya kalau saja Seul Hee tidak memberikannya senyum manis dan
lambaian khasnya. Senyum manis itu yang membuat Sungmin sadar bahwa gadis dihadapannya
itu adalah kekasihnya. Dan menutup pintu dengan keras didepan wajahnya akan
membuat hati gadis itu terluka.
“Oppa, mengapa kau begitu
terkejut?” Tanya Seul Hee dengan wajah heran. Sungmin masih menggenggam erat
pegangan pintu dengan mata melotot dan wajah paling bodoh sedunia. “Oppa, kau
tidak merindukanku?”
Sungmin mencoba bersikap
biasa saja, “Ah, p-pasti, chagi. Aku merindukanmu. Mengapa kau tidak
memberitahuku dahulu kalau kau akan tiba sepagi ini? Aku kan bisa mandi dulu,
atau aku bisa menyuruh Wookie untuk membersihkan dorm. Keadaan dorm kami
seperti Negara yang habis perang saudara setiap pagi.”
“Gwenchana, oppa. Aku kesini
juga tidak berniat untuk bermain atau menghabiskan waktu di dorm-mu seharian.
Aku masih punya pekerjaan yang lebih penting dari itu,” Sungmin menghela nafas
lega, “Oppa, apakah hari ini kau ada jadwal?”
Sungmin mencoba mengingat,
lalu menggeleng sambil memberikan sebuah senyum kecil, “Sepertinya tidak ada,
kau ingin mengajakku jalan-jalan, chagi?”
“Tidak, aku sedang lelah
untuk mengelilingi kota Seoul. Lagipula aku masih merasa jet lag.”
“Pukul berapa kau tiba di
Seoul?” Tanya Sungmin, sedikit khawatir karena melihat gadis itu menjinjing tas
tangan yang cukup besar, karena tidak biasanya Seul Hee berpergian dengan tas sebesar
itu. apakah gadis ini tidak sempat beristirahat dulu?
“Ah, 2 jam yang lalu. Aku
lansung menuju ke dorm-mu, tidak sempat pulang dulu. Diperjalanan menuju
kesini, aku tidak bisa berhenti membayangkan wajahmu yang menggemaskan ketika
baru bangun.” Seul Hee tersenyum, dipandangnya wajah Sungmin dengan mata yang
berbinar. “Datanglah kerumahku.”
Sungmin yang baru saja akan
terhipnotis dengan mata hitam pekat dihadapannya bila ia terus memandanginya
tersentak dan menoleh, “Rumahmu?”
“Ne, aku akan memasak malam
ini, dan aku mengundangmu untuk makan bersamaku, kau mau kan?” Seul Hee
tersenyum cerah.
Sungmin menelan saliva
dengan susah payah. Memasak? Makan? Bagaimana mungkin Sungmin akan mencoba
memakan masakan yang membuatnya trauma dengan masakan western selama beberapa
minggu? Sungmin memikirkan alasan yang tepat untuk menolak ajakan gadis ini,
namun hasilnya nihil. Kepalanya tiba-tiba saja kosong dan yang dapat
dilakukannya adalah berusaha tersenyum dan menggangguk. Tentu saja Seul Hee
lansung sumringah, mata hitam pekatnya yang hari itu tak dihiasi circle lens berbinar.
“Ingat, pukul 7 malam dan
jangan mengajak siapapun. Ara?”
Sungmin menggangguk, pasrah,
“Aratsoyo.”
—Cooking? Cooking!—
Sungmin sudah siap. Siap
menghadapi apapun yang akan disodorkan Seul Hee padanya mala mini. Lengkap
dengan bunga mawar putih, Sungmin melangkah menuju rumah pink pastel yang masih
tertutup rapat. Ia menekan bel berwarna putih itu sekali, dua kali, dan
terdengar langkah kaki yang semakin mendekat ketika ia menekannya untuk yang
ketiga kalinya.
“Oppa!” Pekik Seul Hee, ia
tersenyum sambil membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan karena
berlari-lari untuk membuka pintu. Sungmin tersenyum. Gadis ini memakai dress
yang sama ketika keduanya terakhir bertemu di tempat yang sama. Namun gadis itu
kali ini tidak memakai celemek dan ia lebih memilih untuk mengikat rambutnya
menjadi satu ikatan ke atas. Cantik dan sederhana.
“Untukmu,” Sungmin
memberikan sebuket mawar untuk gadis itu, disusul dengan senyum manis Seul Hee
dan ucapan terima kasih yang terdengar manis ditelinga Sungmin,
“Ayo masuk,” ajak Seul Hee,
ia menarik pergelangan tangan Sungmin dan mengajaknya untuk ke tempat dimana
hal yang dihindari Sungmin malam ini berada. Sungmin memejamkan matanya selama
perjalanan.
“Oppa, wae? Kau tidak enak
badan?” Tanya Seul Hee ketika keduanya telah sampai ditempat yang di dominasi
warna broken white dan pink pastel. Sungmin menatap meja makan yang telah
dihias sedemikian rupa. Beberapa makanan yang pernah dibuat Seul Hee beberapa
bulan lalu menghiasi meja makan, serta beberapa makanan lainnya.
“Ah, ani. Aku hanya sedikit
kelelahan. Super Junior sedang dalam proses rekaman untuk album kami yang ke-6,
jadi belakangan ini aku tidur tidak teratur.”
Seul Hee mengangguk. “Ah,
aku tahu itu.”
Bila kau tahu mengapa
memaksaku datang hari ini, gerutu Sungmin sebal. Ia menarik satu kursi, kursi
yang sebelumnya pernah didudukinya dan mengubah pandangannya tentang gadis yang
sangat dicintainya itu.
“Oppa, apa yang ingin kau
makan terlebih dahulu?”
Sungmin tersenyum, lalu
menghela nafas. Diedarkan pandangannya menuju beberapa hidangan yang tersaji
disana. Pilihan Sungmin jatuh pada sup iga sapi yang diletakkan di mangkuk
besar berbentuk hati. Di atas sup itu, Seul Hee meletakkan daun bawang yang
dibentuk hati dan beberapa sayuran yang dipotong dengan bentuk hati juga. Manis
dan cantik. Semoga saja rasanya sama seperti tampilannya.
Trauma mengambil sesendok
penuh, Sungmin pun memulai menyendok sedikit dari bagian sendoknya ke dalam
sup. Seul Hee menatapnya—lagi-lagi dengan mata berbinar—dan membuat Sungmin
tidak tega untuk tidak tersenyum senang. Ia memasukan sendok tadi kedalam
mulut, dan terdiam beberapa saat dengan posisi itu.
Sedetik, dua detik, tiga
detik. Hening menyelimuti. Seul Hee menatap Sungmin dengan tatapan tak sabaran.
“Oppa, bagaimana rasanya?”
Mata Sungmin berkaca-kaca,
mungkin sebentar lagi akan menangis. “Ini pertama kalinya semenjak rambutku
tumbuh di kepalaku, aku mencicipi masakan seperti ini. Seul Hee, ini.. sungguh…
lezat. Lezat sekali.”
“Jinjja?” Mata Seul Hee jauh
lebih berkaca-kaca disbanding Sungmin. Sungmin menggangguk senang, dan tanpa
memperdulikan kejadian beberapa bulan lalu yang sempat membuatnya trauma
terhadap makanan ala Barat—terutama Spaghetti dan Beef Steak, ia melahap apapun
yang dilihatnya dengan kalap. Sup iga sapi, spaghetti, ayam panggang. Seul Hee
tersenyum manis dan bahagia.
“Ternyata tak sia-sia aku
menghabiskan waktu sebulan lebih di Inggris hanya untuk belajar memasak. Aku
berhasil membuatmu melahap semua masakan yang kubuat hanya dalam waktu 5
menit,”
Sungmin yang masih mengunyah
ayam, menoleh. Menghentikkan aktivitasnya dan menatap gadis itu dengan tatapan
meminta penjelasan. Ia masih tersenyum, menatap Sungmin dengan tatapan
meneduhkan yang selalu membuat Sungmin tak ingin melepaskan kontak mata dengan
matanya.
“Sepulangnya Oppa malam itu,
aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kau menghindari tatapanku dan pulang
dengan wajah menahan sesuatu. Jadi aku memanggil kakakku dan menyuruhnya
mencicipi masakanku. Ia juga bersikap sama sepertimu, dan akhirnya aku
menyuruhnya untuk jujur.”
Sungmin menelan makanan itu
susah payah. Rasa bersalah lagi-lagi menyesakkan relung dadanya. Seul Hee
tersenyum, ia menopang dagunya dengan tangan kanan dan menatap Sungmin.
“Lalu, Rae Wook, kakakku—ia
pasti sudah menemuimu, setelah kejadian malam itu, memberiku askes untuk masuk
ke sekolah memasak di Inggris. Ia bilang, temannya adalah salah satu chef
berbakat dan mengajar di sekolah itu. dengan senang hati aku menerima
ajakannya. Namun, setelah itu aku berpikir, jarak antara Inggris dan Korea
sangat jauh, dan aku tidak akan bisa menemuimu setiap hari seperti apa yang
sering kulakukan setiap harinya.
Jadi, sore itu aku berniat
untuk menemuimu. Meminta pendapatmu tentang kepergianku ke Inggris. Awalnya aku
akan bilang bahwa aku mendaftar di salah satu agensi yang menyediakan
kesempatan bagi para 50 trainee baru untuk berlibur ke Inggris sekaligus belajar
disalah satu cabang agensi disana dalam waktu sebulan. Namun, Eunhyuk oppa
bilang kau sedang beristirahat, padahal aku tahu kau sengaja menghindar dariku.
Dan mulai sejak itu, aku tahu bahwa aku benar-benar harus pergi ke Inggris.
Rae Wook selalu kusuruh
untuk memata-mataimu dari jauh. Aku terus mencekcokinya dengan seribu
pertanyaan yang terdengar tidak masuk akal untuk dijawab oleh gadis yang bukan
siapa-siapamu. Hingga akhirnya, Rae Wook secara sengaja menguntitmu, dan
berpura-pura tidak sengaja bertemu denganmu. Memakai pakaianku sehingga kau
dapat mengira bahwa dia adalah aku. Dan Rae Wook sendiri tak menyangka bahwa
kau akan lebih dahulu bertanya tentangku.”
“Apa saja yang Rae-Wook
ceritakan padamu?” Tanya Sungmin. Ia teringat pada ucapan Leeteuk yang pasti
didengar oleh Rae Wook. Tentang dirinya yang jauh lebih terlihat bahagia…
ketika tanpa Seul Hee.
Seul Hee menoleh, lalu
tersenyum, “Itu tidak penting. Tenang saja, aku memaklumi apa yang diucapkan
Leeteuk Oppa, apalagi setelah kejadian itu. itu hal yang wajar,” Jawab Seul
Hee, seperti membaca ketakutan Sungmin. Sungmin tersenyum lega.
“Mianhae, Seol. Aku tidak
jujur padamu. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu dan berbohong tentang rasa
masakanmu. Seandainya aku jujur, mungkin kau tidak akan ke Inggris, kau pasti
lansung kukirim untuk private bersama Wookie.”
“Ne, seandainya kau lebih
terbuka soal perasaanmu, pasti aku tidak akan pergi kemanapun, tetap ada
disisimu disaat kau membutuhkanku.”
Baik Sungmin maupun Seul Hee
tak ada yang bersuara setelahnya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing
sampai Sungmin menoleh kearah Seul Hee yang sedang menatap jemari-jemarinya
yang bertautan satu sama lain dengan tatapan kosong. Sungmin tersenyum kecil
melihat kebiasaan Seul Hee itu. Lamat-lamat, diraihnya jemari kanan Seul Hee
lalu diremasnya perlahan. Membuat Seul Hee membalas genggaman Sungmin dan ikut
meremasnya. Seul Hee tersenyum dan tak sengaja pandangannya dan Sungmin bertemu
disatu titik. Keduanya terdiam dalam posisi itu selama beberapa saat.
Sungmin mencoba mengingat
sesuatu yang selama ini membuatnya menghindar dari Seul Hee, dan tersenyum
malu. Ia tidak bisa mencintai kekurangan gadis ini, padahal gadis bernama Yoon
Seul Hee ini dengan mudahnya mencintai kekurangannya. Ketika ia diledek teman-teman
sepermainannya karena memiliki kekasih yang sering berkelakuan seperti anak
perempuan, ketika ia menunjukkan sifat aslinya yang lebih jorok daripada
Eunhyuk, ketika ia mabuk dan mengucapkan kata-kata yang tak pantas, gadis itu
tetap berdiri disampingnya. Mendukungnya. Meyakininya bahwa ia benar-benar
menyayanginya dan akan selalu mendukung lelaki itu dari belakang. Gadis ini…
seperti malaikat tanpa sayap. Kini Sungmin mengerti mengapa Leeteuk hyung
dijuluki seperti itu. Dan kini ia bisa melihat sosok malaikat tanpa sayap yang
selalu ada disisinya.
“Seul Hee…”
Seul Hee mengangkat alisnya,
lalu tersenyum kecil. “Ne?”
“Saranghae. Jeongmal
saranghae. Neomu neomu saranghae.”
“He?” Seul Hee sedikit
tersentak. tidak biasanya lelaki itu mengungkapkan perasaannya secara
blak-blakan. Bahkan ketika Sungmin menyatakan perasaan yang sebenarnya kepada
Seul Hee beberapa tahun yang lalu, Sungmin tak mengucapkan kata saranghae pada
kalimatnya. Sungmin lebih senang membalas ungkapan cinta daripada memulai untuk
mengungkapkannya terlebih dahulu. Jadi, Seul Hee hanya mampu menjawabnya dengan
satu kalimat yang menurutnya terlalu sederhana dan tidak mewakili perasaannya
secara keseluruhan, “Nado saranghae, Oppa.”
“Apakah kau akan memaafkan
kekasihmu yang bodoh ini?”
Seul Hee menggangguk,
tiba-tiba saja ia tidak dapat menahan air matanya. Ia menangis. Namun ini
tangis bahagia, “Aku melakukannya untukmu—pergi ke Inggris selama satu bulan
lamanya, menjadi satu-satunya murid yang tidak pandai berbahasa Inggris dan
terus berkomunikasi dengan bahasa Korea, tidur dengan 4 orang sekaligus dalam
kamar kecil, dan muntah muntah sepanjang perjalanan pulang pergi Korea Inggris,
itu semua hanya untuk dirimu. Jadi, tentu saja aku tidak akan memaafkanmu
semudah itu,”
“Lalu aku harus melakukan
apa?” Tanya Sungmin. Senyum prevent evil ala Seul Hee terpancar diwajahnya.
“Ppoppo~ kiss me.”
Sungmin menatapnya tak percaya
dan sedikit ‘keberatan’ dengan syarat itu. Membuat Seul Hee mengerti bahwa
kekasihnya ini tidak menyukai syarat yang diberikannya.
“Baiklah, kalau kau tidak
mau, cepat habiskan makananmu, itu permintaanku.” Seul Hee menyendok spaghetti
dari piringnya dan mengunyahnya, sambil sesekali menatap Sungmin yang juga
sedang sibuk menghabiskan ayam panggang yang tadi sempat tertunda.
“Seol, bagaimana rasa
spaghetti-nya?”
Seul Hee menoleh sekilas,
masih sedikit kesal karena permintaan pertamanya diabaikan saja seperti ini.
Namun akhirnya ia mencoba tersenyum. tak seharusnya ia bersikap childish
seperti ini. “Aku tidak bisa menentukannya sendiri, kau ingin mencoba?”
Sungmin menggangguk, “Hu’um,
tapi aku ingin mencobanya darimu.”
“Dariku? Ooh, kau ingin
kusu—”
Belum selesai Seul Hee
berbicara, Sungmin sudah membungkam bibirnya dengan bibir plum Sungmin. Hanya
ciuman kecil karena Sungmin sedikit melumat bibir Seul Hee. Ia mengakhirinya
dengan ciuman kecil di sudut bibir Seul Hee. Seul Hee terpejam dan kembali
membuka matanya ketika Sungmin sudah kembali ke tempatnya.
“Heem, ternyata spaghettinya
enak sekali. Bolehkah aku mencoba sekali lagi?”
Seul Hee masih mematung
ditempatnya. Terdiam memandang Sungmin dan jemari nya memegangi bibir tipisnya
yang sudah tidak sepolos kelihatannya. Masih tak percaya bahwa Sungmin telah
menciumnya.
“Kau sendiri yang meminta,
aku hanya menuruti ucapanmu. Apapun yang kau pinta, akan kupenuhi. Asal jangan
minta aku meninggalkanmu saja,”
Seul Hee terdiam. Tidak
membalas ucapan Sungmin. Ia memang ingin dicium, tapi bukan di bibirnya.
Sebatas ciuman di pipi, atau di kening agar lebih romantic. Ia sedikit kaget dan berlebihan seperti ini
karena ini adalah… first kissnya.
“Seol? Tenang saja, ini juga
ciuman pertamaku.” Ucap Sungmin seperti dapat membaca hati Seul Hee.
“Aku tidak memintamu untuk
mencium… bibirku.” Protes Seul Hee sambil memanyunkan bibirnya dan dibalas
Sungmin dengan ikut memanyunkan bibirnya juga.
“Yang penting aku sudah
menciummu, dan sudah memberikan ciuman pertamaku untukmu. Seperempat milikku
sudah kau ambil, jadi, apalagi yang mau kau ambil dariku malam ini?” Sungmin
menyeringai nakal. Seul Hee lansung memukul kepala Sungmin dengan sendok yang
dipegangnya.
“Yah, Lee Sungmin! Yadong!
Semenjak kau sekamar dengan Eunhyuk, mengapa kau jadi yadong seperti ini!”
“Hehe, mian, mian. Aku hanya
bercanda. Aku akan memberikannya nanti setelah aku melamarmu dan kita menikah.
Doakan aku cepat sukses agar bisa cepat melamarmu.” Sungmin mengelus puncak
kepala Seul Hee, membuat Seul Hee merasa menjadi wanita paling beruntung malam
ini. Ia memiliki sesuatu yang tidak semua wanita di luar sana miliki. Ia
memiliki Lee Sungmin. Cinta pertama dan semoga saja, cinta terakhirnya.
“Omong-omong, apa saja yang kau pelajari
ketika kau bersekolah di Inggris?”
Seul Hee tersadar dan
menatap Sungmin yang tengah menatapnya serius, “Segalanya tentang masakan.
Awalnya chef itu mengajariku berbagai macam teori, bagaimana membedakan mana
daging yang belum matang atau sudah, daging yang masih segar atau sudah lama
disimpan, bagaimana caranya merebus sayur tanpa mengurangi kandungan yang
tersimpan didalamnya. Selanjutnya kami mulai praktek, ia mengajariku dengan
santai. Ia bilang, aku adalah orang yang cepat memahami pelajaran yang
diberinya. Jadi, aku bisa menyelesaikankan pelajaranku disana hanya dalam waktu
sebulan.”
Sungmin tak tahan untuk
bertanya, “Apakah dia mengajarimu bagaimana caranya membedakan cola dan kecap?”
“Ya! Lee Sungmin! Ya!
Kembali kau! Sungmin oppaaaa!!!!!”
—Cooking? Cooking!—
Sungmin POV.
“Oppa, mengapa kau
memperhatikanku seperti itu? mengapa? Apa ada yang aneh dari penampilanku hari
ini?”
Aku menggeleng. “Kau
cantik,” Balasku yang lansung mendapat jitakan kecil darinya. Aku meringis,
sambil memegangi kepalaku yang dijitaknya.
“Jangan menggodaku ya.
Bagaimana kalau kita pergi sekarang? Kita akan terjebak antrian yang panjang
kalau tidak sesegera mungkin. Aku harus mendapatkan tanda tangan Hyun Joong
oppa!”
“Kau kan bisa memintanya
dariku,” Ucapku santai ketika ia sudah masuk ke dalam mobil. “Aku mengenalnya
dan kami cukup dekat,”
“Aku ingin bertemu dengannya
lansung,”
Aku kembali berkilah, “Aku
juga bisa mempertemukan kalian berdua, ucapkan saja tempat dimana kalian akan
bertemu, maka aku akan mewujudkannya.”
“Ya, oppa. Kau ini kenapa?
Kau sendiri yang bilang kalau kau ingin menemaniku menonton konser SS501?” Ia
kembali protes dan membuatku tak tahan untuk mencubit pipinya. Saat-saat Seul
Hee marah adalah saat-saat yang paling menggemaskan karena pipinya akan berubah
merah dan mata bulatnya itu akan terlihat sipit dan membentuk seperti garis
lurus. Aku suka itu.
“Oppa, kita berangkat
sekarang atau kau ingin aku pergi ke Inggris selama satu tahun dan tak akan
menghubungimu?”
Ancaman itu lagi. Mau tak
mau aku menurutinya walaupun sebenarnya, aku menyukainya. Aku menyukai
semuanya. Semua yang berhubungan dengan Seul Hee, dan akhirnya aku bisa
mencintai segala sesuatu yang ada didalam dirinya. Kelebihannya maupun
kekurangannya. Bagiku, ia satu-satunya anugerah yang tak dapat dibeli dan
ditukar dengan sepeser uangpun, dengan benda apapun, bahkan bila harus
mempertaruhkan nyawa, aku akan menukarkannya demi mempertahankan anugerahku
ini. Karena aku mencintainya, lebih dari apapun.
_FIN_
Cerita ini udah direvisi
ulang dari versi aslinya, hoho. Udah diedit dan dirombak biar enak dibaca. Tapi
tetep aja nggak memuaskan—menurutku. And, sepertinya cerita ini ada
lanjutannya—padahal gak ada yang minta—dan cerita selanjutnya ini dibuat
chaptered. Jadi, kalau ada yang mau nunggu, sabar menunggu yaaa:-)
Judul cerita barunya apa?
Mau tau? Kasih tau gak ya? Haha~ *evil laugh*
Judul lanjutan cerita ini adalah ‘Our Love’.
Dimana lebih banyak konflik dan orang-orang baru. Terimakasih ya buat readers
yang udah nyempetin waktunya untuk baca cerita gaje ini. Terimakasih dan…
sampai jumpaa^^
_Adspaniw_
Comments
Post a Comment