Closer [Twoshoot]




Title : Closer
Author : Achma Desvania (Choi Minji)
Cast :
-          Choi Minho
-          Choi Jinri
-          Krystal Jung
-          Lee Taemin
Genre : Romance, School Life
Rating : PG
Length : Twoshoot
A/N: Berhubung lagi suka sama pair yang satu ini, terinspirasi membuat karya yang masih jauh dari kata sempurna ini-_- Oh iya, jangan lupa commentnya dan kritik. Kritik yang dikasih itu membangun untuk bisa lebih baik lagi. So, happy reading^^ *tebarchu~*


Chapter 1 of 2.
Pagi itu, di kelas 10-A, seorang yeoja merenung sendiri di bangkunya. Ia menghabiskan waktu di pagi hari yang mendung ini di kelas, memandang beberapa anak lelaki yang bermain bola dari jendela kelasnya. Senyumnya kadang terkembang begitu saja melihat tingkah lucu yang spontan dilakukan oleh anak-anak lelaki dibawah ketika mereka berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Banyak anak yeoja sepantarannya maupun yang levelnya lebih tinggi darinya memberi dukungan dari pinggir lapangan ataupun sekedar menonton pertandingan yang setiap hari selalu dilaksanakan oleh kelas atletik.
Yeoja itu mendesah pelan. Namanya Choi Jinri. Beberapa teman yang tidak terlalu akrab dengannya memanggilnya Jinri. Namun, eomma dan kakak lelakinya memanggilnya Sulli. Ia sudah  cukup lama ditinggal oleh appa-nya. kira-kira ketika ia masih berumur 11 tahun. Appanya menderita penyakit ginjal dan harus merenggut nyawanya di usia yang masih tergolong muda. Dan sedihnya, penyakit mematikan itu diturunkan padanya.
“Ayo kita cari pendonor untukmu di luar Korea, Sulli-ah.” Ajakan eomma dan kakak laki-lakinya itu selalu terdengar kala Sulli harus terbaring lemah dirumah sakit karena penyakitnya. Namun, jawaban yang diberinya selalu tidak. Untuk apa menghabiskan uang eomma yang dicari susah payah hanya untuk pengobatannya? Toh, ia akan berakhir seperti appanya juga.
“Aku sudah mencari jalan keluar dari permasalahan yang akhir-akhir ini membuat kepalaku hampir pecah. Dan jalan keluarnya itu ada pada dirimu, Choi Jinri.”
Jinri menatap Hyubin songsaenim lalu bertanya. “Permasalahan apa?”
“Kau tahu Choi Minho, ah menyebut namanya saja kepalaku kembali pusing. Ya, anak badung yang baru masuk 3 bulan yang lalu. Nilainya selalu saja dibawah 4. Anak itu juga jarang masuk kelas dan selalu membuat guru muda yang mengajar dikelas kita menangis ketika menegur kemalasannya itu. aish, kepalaku…”
Pikiran Jinri lansung melayang pada namja tampan bermata bulat yang tengah populer di sekolah mereka semenjak kedatangannya di sekolahnya 3 bulan yang lalu. Kelakuannya memang tengah menjadi masalah bagi guru yang mengajar di kelas mereka. belum lagi, kelas yang ditempati Jinri adalah sarang para murid teladan yang IQ-nya diatas rata-rata. Dan Choi Minho, lelaki itu, dengan mudahnya masuk di kelasnya dan mengacaukan predikat ‘kelas terbaik’ yang melekat di kelasnya selama 6 bulan belakangan ini.
“Jinri-ah? Jadi bagaimana, kau mau kan menerima tawaranku ini?” Tanya Hyubin songsaenim yang lansung membuatnya menoleh kearah lelaki tua berumur sekitar 43 tahun itu.
“Tawaran… apa?”
“Kumohon, bantu aku Jinri-ah.” Tatapannya tajam lurus menatap Jinri. “Ubah Minho dan berikan ia pelajaran tambahan.”
“Jadi kau Choi Jinri? Kudengar kau akan memberiku pelajaran tambahan? Ehm, kalau begitu, kapan kita akan mulai belajar bersama? Ah, aku tidak sabar untuk itu.”
Dan disinilah ia sekarang. duduk di sudut cafeteria dengan segelas teh hangat yang asapnya masih mengepul di udara. Setumpuk buku tergeletak disamping tas cokelat kulitnya yang merupakan hadiah dari kakak laki-lakinya ketika ia masuk ke sekolah elit ini.
“Aish, sudah hampir setengah jam. Kemana namja babo itu?” Keluh Jinri. Bila ternyata lelaki itu tidak bisa datang, ia harus menunggu lebih lama karena ia terlanjur mengirim pesan pada kakaknya agar menjemputnya lebih lambat dari biasanya karena ada urusan sebentar dan kakaknya adalah tipe lelaki pekerja keras yang tidak mau meninggalkan pekerjaan karena adiknya tiba-tiba minta dijemput.
“Jangan mengatakan seseorang babo bila tidak ada orangnya.”
Jinri terlonjak, lalu menatap lelaki yang duduk di hadapannya dengan santai. Ia menatap Jinri sebentar lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Jadi, Sulli-ah, apa yang akan kita pelajari?”
Jinri lagi-lagi terlonjak. Sulli-ah? Darimana ia tau panggilan itu? Dan sejak kapan ada orang yang memanggilnya Sulli-ah atau Jinri-ah selain guru Hyubin dan keluarganya? Sok kenal sekali lelaki songong ini, pikir Jinri.
“Aku tidak punya banyak waktu untuk melihatmu terdiam seperti itu.” Lelaki itu menatapnya sekilas, lalu kembali pada ponselnya.
Jinri mengatur nafas sebelum membuka buku chemistry yang sudah disiapkannya. “Bagian mana yang belum kau pahami, Minho-ssi?”
“Seluruhnya aku sudah paham.” Jawab Minho sekenanya. Oke, Jinri, kau harus sabar menghadapi namja songong dihadapanmu ini.
“Bila kau sudah paham, lalu mengapa nilaimu masih selalu dibawah 4?”
Minho tertawa. “Kau ini perhatian sekali padaku. Kalau saja tidak ada Krystal, mungkin kau akan kutembak sekarang juga. Atau kau mau menjadi selirku?”
Jinri tak menggubris. Ia lebih memilih menjelaskan beberapa materi yang diajarkan sebelum lelaki ini masuk di sekolahnya lalu materi yang baru-baru ini dipelajari di kelasnya. Ia menjelaskan sambil menyodorkan kertas berisi contoh soal materi yang tengah dijelaskannya. Melihat lelaki itu hanya asik dengan ponselnya, Jinri berang. Ia menutup buku chemistry tebal itu dengan kasar dan keras.
“Ya, Minho-ssi. Aku sedang tidak ingin bermain-main sekarang. Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni namja sepertimu.”
Minho hanya menoleh sekilas. “Lanjutkan saja. aku mendengarkanmu sedaritadi kok.”
“Baiklah kalau kau mendengarkanku, tolong ulangi seluruhnya yang kujelaskan padamu.” Jinri tersenyum. kena kau.
“Itu bukan hal yang sulit.” Dan tanpa Jinri duga, lelaki itu dapat mengulangi apa saja yang dijelaskannya termasuk bagian-bagian yang sulit pun dapat dijelaskannya. Dengan baik. Tanpa melihat buku. Dan membuat Jinri hampir kehilangan nafasnya. “Bagaimana?”
Jinri tergagap. Tiba-tiba saja suaranya menguap entah kemana. Minho tersenyum. “Kalau begitu, aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yang jauh lebih penting dari ini. Bye, Sulli-ah. Sampai bertemu esok hari!”
Dan lelaki itu pergi. Meninggalkan Jinri yang masih shock atas kejadian tadi.
Lalu kalau ia bisa menghapal hanya dengan mendengarkan orang berbicara saja, mengapa ia tidak bisa mendapat nilai diatas 4 dan membiarkannya bebas tanpa harus memberi pelajaran tambahan kepada Minho?
 Hujan.
Jinri memandang jendela kamarnya yang dihiasi bulir-bulir air hujan sambil membuka-buka buku fisika tanpa niat. Malam ini malam minggu. Beberapa anak seusianya pasti sedang bersantai dengan teman sepermainan mereka di pantai atau menghabiskan waktu dengan berbelanja dan bermain di mall. Atau bisa saja berjalan-jalan mengelilingi kota Seoul dengan teman atau kekasih mereka seperti yang sering dilakukan Jinri. Sebelum appa meninggal.
Sebelum appa meninggal. Pergi meninggalkannya, eomma, serta kakak laki-lakinya. Membiarkan kedua orang itu sibuk mengurus perusahaan appa yang ada dimana-mana letaknya itu. membuat kedua orang itu tak punya waktu untuknya. Untuk Sulli. Untuk Choi Jinri.
Ia memiliki eomma yang pernah menjadi model, makanya bentuk tubuh Jinri sangat mirip dengan postur model yang menurun dari ibunya. Jung Sooyoung. Begitulah nama ibunya ketika ia masih terkenal di dunia hiburan. Wanita anggun yang memiliki kaki jenjang, dengan wajah oriental yang memiliki campuran Korea dan Indonesia—kakek Sooyoung memiliki keturunan Indonesia—terkenal di pertengahan tahun 1980. Lalu, diakhir tahun 80 ia dilamar oleh lelaki yang berprofesi sebagai anak pewaris Choi’s Company yang memiliki cabang perusahaan di berbagai Negara, Choi Siwon.
Setahun setelah menikah, Sooyoung dan Siwon mendapatkan anak pertama mereka. Choi Donghae. Si pemalas yang selalu mendapat peringkat terbawah di kelasnya semenjak duduk di bangku SD itu bermetamorfosis menjadi lelaki dewasa yang tampan dan pekerja keras. Tidak pantang menyerah, dan sangat menyayangi keluarga.
Setelah lima tahun Choi Donghae menjadi anak tunggal dan tak punya teman dirumah kecuali beberapa teman sekomplek, sang ibu melahirkan seorang adik manis berjenis kelamin perempuan yang diberi nama Choi Jinri. Bertolak belakang dengan Donghae, sejak duduk di SD ia selalu mendapat peringkat dan selalu mendapatkan kebahagiaan dari keluarga kecilnya.
Sampai ketika ia akan melanjutkan pendidikan dari SD menuju SMP, kepergian appa-nya menghancurkan seluruhnya. Bahkan menguapkan seluruh keceriaan Sulli yang selalu ditunjukkannya setiap hari. Demi Sulli, ibunya, Choi Sooyoung atau Jung Sooyoung itu rela mengambil alih pekerjaan yang dikerjakan oleh Choi Siwon setiap hari. Begitu pula dengan kakaknya, Donghae. Ia rela meninggalkan karier gemilangnya di sebuah boyband yang dibentuknya ketika SMA. Bahkan rela meninggalkan kekasihnya yang tengah bersekolah di Amerika, Jessica Jung, dan rela dijodohkan oleh Kim Yoon Ah, anak pemilik Kim Corp yang dapat mempererat kerja sama diantara kedua perusaan besar di Korea.
Jinri masih sangat ingat ucapan eommanya ketika ia merengek menyuruhnya dan Donghae berhenti dari pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktu yang dihabiskannya dirumah.
“Kau sakit, Jinri-ah. Aku harus bisa membuatmu kembali sembuh dan mengobatimu sampai kau sembuh. Aku tak akan membiarkanmu bernasib seperti ayahmu. Kau akan sembuh, Jinri-ah. Bersabarlah.”
Tanpa terasa, Jinri telah menangis. Membuat beberapa tetes dari air matanya berbekas di buku fisikanya. Tiba-tiba saja, Jinri merasa kesepian. Sangat kesepian.
Choi Minho bosan seharian hanya menghabiskan waktu di bar terkutuk ini. Menemani Krystal yang pemabuk berat itu memang bukan hal yang benar. Dengan kesadaran penuh, Choi Minho meninggalkan Krystal yang benar saja, sudah tidak sadar lagi bahwa ia ditemani oleh kekasihnya yang dari awal tidak suka diajak ke tempat ini.
Minho melempar pinggulnya ke kap mobil. Tiba-tiba saja ia teringat akan masalah pelik yang ada disekolahnya. Teguran guru, melaporkan pada ayahnya, dan hampir diusir oleh ayahnya. Minho mendengus. Seharusnya ia tidak usah dipindahkan saja dari Tokyo. Ia sudah sangat betah disana dan nyaman karena tinggal bersama ibunya. Masih teringat dikepalanya ketika hari itu ayahnya datang kesekolahnya yang berada di Tokyo, mengurus kepindahannya, dan dengan seenaknya memaksanya pulang ke Korea. Apalagi alasan ayahnya memaksanya pulang kalau tidak untuk tawaran menjadi penerus perusahaan yang bersaing dengan perusahaan terbesar di Korea yang prestasinya yang sudah sampai international, Choi’s Company.
Entah bila mengingat sekolah, ia teringat pada gadis itu. Gadis yang selalu menutup dirinya untuk orang disekitarnya. Gadis yang membuat dunia sendiri yang lain dari dunia tempatnya berpijak. Gadis yang ingin dihargai dan memiliki tanggung jawab walaupun ia tidak menyukai hal yang harus dipertanggung jawabkannya itu.
Choi Jinri.
Ia masih mengingat, awal ia datang ke sekolah itu. gadis itu duduk di bangkunya. Dengan serius ia menatap kearah jendela dan kadang ia tersenyum. walaupun senyumnya tak dari hati.
“Serius sekali.”
Itu kata-kata yang menjadi kalimat awal pembuka perkenalan mereka. gadis itu hanya menoleh—dengan tatapan datar dan ekspresi yang sama datarnya—lalu kembali menatap jendela. Merasa tidak diinginkan kehadirannya, Minho mendengus lalu pergi mencari bangku yang sekiranya kosong untuk didudukinya.
“Gadis itu… kemana ya malam minggu seperti ini?” Tanya Minho. Ia merogoh saku celananya, dan menatap ponselnya. Tiba-tiba saja ia tersenyum dan segera masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkan Krystal yang entah bagaimana kabarnya di dalam bar terkutuk itu.
Jinri mengeratkan jaket merahnya yang tidak bisa menghilangkan rasa dingin yang menggelitik kulitnya. Ia menghela nafas. Mengeluarkan asap putih dari mulut dan hidungnya. Entah mengapa ketika menerima pesan singkat itu, ia bergegas membereskan beberapa buku yang ada di atas mejanya dan bergegas menuju taman ini dengan taksi.
“Kemana dia?” Tanya Jinri. Takut bila ternyata ia hanya dipermainkan oleh orang yang mengirimkannya pesan singkat itu.
“Hei, Sulli! Disini!”
Jinri lagi-lagi akan menelan lelaki bernama Choi Minho itu kalau saja ia ingat bahwa ia tidak bisa menelan lelaki itu bulat-bulat dan ia bukan kanibal atau hewan karnivora.
“Mian, telat ya?”
Jinri mendengus. “Mengapa kita harus belajar di tengah taman sepi ini?” Tanya Jinri. Ia mengeluarkan beberapa buku tebal yang disiapkannya dari rumah. Melihat itu, Minho mengernyitkan dahi.
“Aku tidak mengajakmu keluar untuk mendapatkan tambahan belajar atau kita akan belajar bersama.” Ucapan Minho membuat Jinri menoleh dan menghentikkan aktivitasnya membuka lembaran demi lembaran buku dengan tangannya yang hampir membeku.
“Jadi?” Tanya Jinri. Minho tersenyum manis.
“Ayo kita berkencan, Sulli-ah.” Dan Jinri lagi-lagi—hampir setiap kali bertemu Minho—terlonjak dan kali ini ia melotot tajam pada Minho yang masih tersenyum.
“Kalau kau memang tidak ingin belajar atau ada pelajaran tambahan seperti ini, aku akan pulang. Selamat malam.”
Jinri hendak meninggalkan tempat yang membuatnya hampir mati beku ketika sebuah tangan kekar menggenggam jemarinya yang tak bersarung tangan, membuatnya menghentikkan langkah. Jinri terdiam ditempatnya.
“Ayolah, Sulli-ah. Kau sudah datang kesini dan masa aku harus membiarkanmu pulang begitu saja? Kumohon. Kupastikan kau akan bersenang-senang mala mini.”
Jinri melepaskan tangan Minho kasar. “Maaf, tapi aku tidak akan pergi berkencan begitu saja dengan lelaki yang baru kukenal beberapa hari yang lalu.”
“Bagaimana kalau…” Minho kehabisan akal. Satu-satunya cara agar ia bisa menahan Jinri adalah alasan Jinri untuk menemuinya tadi. “kita belajar bersama? Aku memang ada niat untuk belajar kok mengajakmu bertemu tadi, hehe.”
Luluh, akhirnya Jinri menggangguk dan kembali duduk di bangku taman yang sepi itu, mengambil buku di tas, dan membuka lembaran demi lembaran buku dengan tangannya yang memerah karena dingin.
“Sulli, kau tidak memakai sarung tangan?” Tegur Minho begitu melihat tangan Jinri yang sudah memerah.
“Bukan urusanmu.” Jawab Jinri, ketus. “Dan jangan panggil aku Sulli lagi. bagaimana kau tahu kalau Sulli adalah nama panggilanku?”
Minho tersenyum misterius. “Ah, itu sangat gampang untukku, Sulli-ah. Mengapa? Bukannya itu lebih imut disbanding Jinri? Ah, tapi Jinri juga sama imutnya.”
Jinri tak menggubris lagi, ia lebih memilih mulai menjelaskan materi fisika yang tadi sempat dibacanya dirumah daripada meladeni pujian dari Minho yang tidak penting untuk didengarkan.
Pagi yang cukup dingin. Jinri membuka matanya perlahan dan menaikkan selimutnya yang hanya menutupi sebagian tubuhnya ketika dingin tiba-tiba menyapa kulitnya yang sensitive. Tiba-tiba saja Jinri merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya, dibagian terkiri dari perutnya. Dimana ginjalnya berada. Dan rasa sakit itu berpengaruh pada pandangan serta keseimbangannya yang tiba-tiba saja semakin kabur ketika ia mencoba mengetuk kamar kakaknya.
Tepat ketika Donghae membuka pintu kamar, Jinri jatuh tak sadarkan diri.
Minho menatap ponselnya yang tidak bereaksi apapun sedari tadi. Sepertinya ia sedang menunggu pesan karena aplikasi yang dibukanya sedari tadi adalah aplikasi pesan. Ia kembali mengirim pesan yang ditujukan untuk contact bernama Jinri Choi. Tetapi tetap saja pesan itu tak kunjung dibalas.
“Aish, kemana gadis itu? Bel masuk sudah berbunyi dari tadi. Mungkinkah gadis itu terlambat? Aigo, kenapa aku jadi mengkhawatirkannya? Biarkanlah ia terlambat atau tidak, itu tidak akan menggangguku juga.”
Ternyata dugaan Minho melenceng. Gadis itu tidak terlambat. Wali kelas baru saja masuk dan mengatakan pada guru yang mengajar bahwa murid bernama Choi Jinri tidak dapat hadir karena dirawat dirumah sakit.
Dan tiba-tiba saja Minho menjadi khawatir.
“Aigo, aku tidak papa, eomma.”
Jinri mencoba berdiri dengan kedua kakinya menuju kamar mandi yang terletak di sudut ruangan. Namun, eommanya tak membiarkannya berjalan sendiri dengan kondisi yang belum mendekati kata membaik.
“Eomma benar-benar keras kepala.” Ejek Jinri ketika eommanya menemaninya masuk ke dalam kamar mandi, dan menuntunnya kembali ke tempat tidur.
“Sama sepertimu, Sulli-ah.”
Sulli atau Jinri itu mengerucutkan bibirnya. Ia menatap ibunya yang hari itu merelakan hari pertamanya bekerja setelah sehari berlibur tertinggal begitu saja. baginya, Sulli lebih berharga disbanding pekerjaannya. Katanya, pekerjaannya sudah tidak begitu banyak dan ia bisa meninggalkan urusan kantornya untuk mengurus anak bungsunya.
“Eomma.” Sulli menatap ibunya. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang menjadi keinginannya setiap kali ia melihat wajah letih ibunya. “Berhentilah bekerja.”
Mendengar itu, Sooyoung hanya tersenyum. dibelainya rambut panjang anak gadisnya itu dengan lembut. Membuat air mata Sulli menggenang. “Sulli-ah, bila eomma tidak bekerja, kau tidak bisa sembuh nanti. Eomma tidak ingin kesalahan fatal itu terulang kembali.”
Bisa Sulli rasakan, air matanya merembes begitu saja. Lagi-lagi demi dirinya. Demi penyakitnya. Sekali lagi, ia merasakan bahwa ia bukan anak yang baik untuk ibunya itu.
“Dan Sulli-ah, bisakah kau menuruti permintaanku ini? Bila kenaikan kelas nanti, maukah kau pergi ke China bersamaku dan Donghae? Kita akan mencari pendonor untukmu disana.”
Sebelum sempat Sulli mengeluarkan beberapa patah kata, pintu kamar inapnya digeser oleh seseorang. Sulli segera menghapus air matanya dan memperbaiki posisi duduknya. Matanya membulat begitu melihat siapa yang menjenguknya. Choi Minho.
 “Kenapa datang di jam sekolah?”
Minho cengengesan, mendengar nada dingin dari suara Jinri. Sooyoung memilih pergi ke cafeteria dengan alasan mencari sesuatu yang dapat diminum. Meninggalkan keduanya dengan keadaan Jinri yang tidak seangkuh biasanya.
“Karena kalau jam pulang sekolah, akan ramai anak-anak sekelas yang menjengukmu.”
Jinri menoleh. “Wae? Bukankah lebih baik seperti itu?”
“Anio! Itu tidak baik. Perhatianmu nanti tidak akan tertuju hanya padaku saja.” Minho tersenyum. dan entah kenapa darah Jinri berdesir ketika melihat senyum itu. “Kalau seperti ini, perhatianmu kan teruju padaku dan hanya untukku saja.”
Jinri merasakan pipinya memanas. Aish, apa ini? Kenapa namja dihadapannya ini? Mencoba merayunya? “Kalau kau sudah melihat kondisiku, silahkan kembali ke sekolah.”
“Kau mengusirku, Choi Jinri?” Pertanyaan Minho tadi dibalas oleh anggukan oleh Jinri. “Aish, kau tega sekali mengusir namja tampan seperti ini. Kau tahu? Yeoja-yeoja disekolah berharap dijenguk oleh lelaki sepertiku. Kau malah mengusirku, kau akan menyesal wahai Choi Jinri.”
“Anio, untuk apa menyesal?” Sergah Jinri tegas. “Aku tidak akan menyesal. Pulanglah Choi Minho aku sedang ingin beristirahat sekarang.”
“Baiklah.” Minho tersenyum lalu meletakkan buket bunga yang dibelinya. “Semoga cepat sembuh. Cepat kembali dan cepat bersekolah. Lalu cepat ajarkan aku lagi. sepertinya aku membutuhkan tambahan matematika. Annyeong haseyo, Sulli. Sampaikan salam hormatku untuk Sooyoung ahjumma.”
Lelaki itu pergi meninggalkan kamar inap Jinri. Membuat Jinri menghela nafas lega.
Kehidupan Jinri kembali lagi seperti biasa. Bangun pagi, berangkat diantar Donghae Oppa, sampai dikelas, duduk dibangkunya dan melihat beberapa anak-anak lelaki bermain futsal. Namun kali itu ada yang berbeda di bawah sana. Lelaki yang belakangan ini hadir di kehidupannya tengah bermain dengan lincahnya. Jinri melihat namja itu menggiring bola, tak membiarkan lawannya mengambil alih bola yang ada pada dirinya, dan ketika ia mendapati lawannya lengah, segera ditendangnya bola itu. Dan… goal!
Jinri tiba-tiba tidak bisa menghentikkan bibirnya untuk tersenyum kecil. Apalagi ketika matanya beradu dengan Minho yang tengah melambai kearahnya. Entah mengapa—Jinri sendiri bahkan bingung—ia membalas lambaian itu dengan senyum yang masih terkembang.

Minho hanya bisa mematung. Senyum gadis yang ada di lantai dua itu membuyarkan dunianya. Lebay memang, namun itulah yang terjadi. Bibirnya tak tahan untuk ikut tersenyum. tersadar, ia kembali berlari mengejar bola yang diambil alih oleh lawannya sambil membayangkan senyum yang tadi tertuju untuknya.
Aigo, ternyata Choi Jinri—gadis itu—bagai sebuah kerang yang menyimpan keindahan didalamnya. Ia menyimpan sebuah mutiara.
Angin berhembus kencang ketika Jinri merogoh tasnya dan mendapatkan ponselnya tidak menunjukkan reaksi apa-apa saat ia memencet tombol kunci maupun menyentuh layar touch screen-nya. Tiba-tiba saja ia panic. Pasti handphonenya itu habis baterai. Pasti ia lupa menchargingnya semalam. Bagaimana ini?
Jinri kembali merogoh tas dan menemukan bahwa dompetnya tertinggal di meja belajar sehabis membeli beberapa buku di toko buku bersama Donghae Oppa semalam. Dengan panic, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, berharap Donghae peka dan menjemputnya tanpa menunggu pesan darinya. Sialnya, disana sudah sepi dan hanya tertinggal beberapa orang yang tidak Jinri kenal.
Angin semakin kencang berhembus. Menerbangkan rambutnya yang dikuncit kuda dan roknya. Secepat kilat Jinri menyenderkan badannya di tembok agar angin tidak menerbangkan roknya dan beberapa orang dapat melihat isi roknya.
“Sepertinya akan turun hujan.” Keluh Jinri ketika ia merasa ada setetes air yang menyentuh wajahnya. Semakin lama semakin banyak dan membuat Jinri kembali panic. Buru-buru ia berlari menuju sekolahnya dan berteduh di sana.
Benar saja, hujan lansung mengguyur tepat ketika Jinri terduduk lemah di sudut ruang tunggu. Disana masih banyak murid yang menunggu, namun kebanyakan dari mereka murid yang tidak Jinri kenal.
“Sulli-ah!”
Jinri sangat berharap itu adalah Donghae, namun mendengar suaranya yang lebih berat, harapan Jinri pupus. Si Minho ternyata. Ia memakai jaket berwarna abu-abu yang tidak memiliki resleting—yang sudah ditanggalkannya resleting itu—dengan celana olahraga. sepertinya ia habis dari kelas atletik.
“Ya, Minho-ssi, sudah berapa kali kubilang, jangan panggil aku Sulli lagi.” Peringat Jinri ketika beberapa orang menoleh kearahnya saat Minho memanggilnya Sulli.
“Wae? Memang namamu Sulli kan?” Ucapnya santai. “Omong-omong, kenapa kau meninggalkanku? Bukankah sudah kubilang tunggu aku di cafeteria. Aku ingin tambahan matematika hari ini. Aku mengirim pesan untukmu.”
“Cerewet sekali kau ini, Minho-ssi.” Ketus Jinri. “Cerewetmu itu mengalahkan seorang yeoja saja. Ponselku mati. Makanya aku belum pulang karena tidak bisa menghubungi kakakku.”
Minho tersenyum. “Pulanglah bersamaku, Sulli-ah.”
“Mwo?”
Mimpi apa ia tadi malam? Minho mengajaknya pulang bersama? Minho menggangguk lalu tersenyum. “Tapi setelah memberikanku pelajaran tambahan. Kajja!”
Dan Jinri hanya bisa mengikuti langkah Minho yang sudah lebih dulu berjalan menuju cafeteria.
“Akhirnya selesai.”
Jinri tersenyum tipis, dua jam mengajarkan Minho ternyata tidak berakhir sia-sia. Buktinya Minho cepat mengerti dan soal yang dikerjakannya hampir mendekati nilai sempurna. Lalu, Minho juga menjanjikan membayar 2 cangkir teh hangat yang dipesan Jinri selama dua jam ini, dan seperti janjinya sebelum mereka belajar bersama, Minho akan mengantar dirinya sampai ke depan rumah.
“Sulli-ah, besok kita bertemu di cafeteria jam 3, tunggu aku disana. Jangan kemana-mana. Arraseo?”
Jinri menoleh, lalu menggangguk dan tersenyum. “Arra!” Minho menoleh, tiba-tiba saja darahnya berdesir. Lagi-lagi senyum itu. senyum yang membuatnya lupa bahwa ia sedang berhadapan dengan gadis yang berhati es.
“Sulli-ah.” Minho mendekatkan jempolnya tepat di bawah hidung gadis itu. “Darah?”
Jinri tersentak. Ditepisnya kasar tangan Minho dan merogoh tasnya untuk mencari tisu, nihil. Ia tidak mendapatkan apapun disana. Sapu tangan saja tidak ada. “Uh. Bagaimana hari ini aku bisa sial seperti ini.”
“Pakai ini.” Minho menyodorkan jaket abu-abu itu padanya. “Aku tidak membawa sapu tangan. Pakai ini, cepat.”
Jinri ragu. “Nanti kotor.”
“Bisa dicuci.” Ucap Minho. Ia tersenyum lalu kembali focus pada kemudi. Sementara Jinri, ia hanya bisa mematung. Tiba-tiba ia merasa jantungnya berdegup dua kali lebih kencang ketika ia mengarahkan jaket abu-abu itu pada bawah hidungnya dan hidungnya yang masih mengalirkan darah. Ia dapat mencium bau khas Minho di sana. Dan itu yang membuat jantungnya berdegup.
Semudah itukah ia menaruh hati pada lelaki dihadapannya itu?
Cafetaria, 3:22 KST. Bosan.
Jinri menekan tombol ‘tweet’ dan menghela nafas. Baru saja ia menulis tweet di jejaring sosialnya untuk menghilangkan kebosanan yang melandanya. Sudah lebih dari 20 menit ia menunggu seseorang yang tidak kunjung datang. Terakhir kali ia melihatnya, namja itu hanya berkata tanpa suara, ‘Tunggu aku, ya!’ lalu meninggalkan kelas yang masih ramai.
Baiklah, mungkin ia memiliki urusan sebentar. Tunggu saja sebentar lagi.
.
Satu jam sudah Jinri menunggu. Tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki bernama Choi Minho akan menghampirinya. Baiklah. Ia menghela nafas, lalu merapikan bajunya. Ia tidak akan menunggu lebih lama lagi kali ini. Ia rasa bila sudah satu jam tak ada tanda-tanda kedatangannya—bahkan tak ada pesan atau panggilan—namja itu tak akan datang.
Dan tiba-tiba Jinri merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, pada lelaki manapun—kecuali pada appanya, Jinri merasa… kecewa.
Malam itu Donghae pulang lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa ia membersihkan kamarnya lalu tersenyum ketika Sulli menghampirinya yang tengah memegang sapu.
“Temanku akan datang.” Ucapnya tanpa perlu Sulli Tanya. “Bersikap manislah, dongsaengku sayang.”
“Ya!” Sulli merengut ketika Donghae mencubit pipinya. Donghae tersenyum lalu kembali melanjutkan pekerjaannya—menyapu kamarnya, sambil menyenandungkan lagu yang terdengar dari tape recorder dikamarnya.
“Oppa, kamarmu ini sudah seperti gudang saja.” Komen Sulli. Ia menidurkan tubuhnya di sofa kecil yang terletak di kamar milik Donghae. “Eomma belum pulang?”
“Belum.” Jawab Donghae. “Eomma akan pulang sebentar lagi.”
Sulli menggangguk sampai bunyi bel terdengar membuyarkan lamunan Sulli dan menghentikkan aktivitas Donghae. “Eomma kah? Biar Sulli yang buka.”
“Gomawo, Sulli saeng.”
Sulli melangkah menuruni tangga dan mempercepat langkahnya ketika eommanya memencet bel sekali lagi.
“Iya, eomma. Sulli tau eomma pasti ca—“
Sulli menghentikkan kalimatnya begitu melihat siapa yang ada di hadapannya. Mata serta bibirnya ikut membulat. Bukan, itu bukan eommanya.
Itu Choi Minho.

^^^

To Be Continued.

Comments